Tuesday, October 28, 2008

CEMAS AKAN HARI ESOK

Ada pepatah di masyarakat Jawa “Wong urip iku nggowo rejekine dewe-dewe” terjemahan secara umumnya adalah bahwa setiap orang memiliki rejekinya masing-masing.

Sehingga sering juga terdengar istilah “narimo ing pandum”,  istilahnya pasrah akan apa yang diterimanya.

Namun dengan berjalannya waktu, dimana pola kehidupan sudah sangat berubah,  pepatah tersebut semakin tidak terdengar lagi.  Lebih banyak keluh kesah yang muncul dibandingkan ucapan syukur.

 

Sangatlah wajar, dengan pola kehidupan yang serba cepat, serba instant dan menurunnya nilai-nilai kehidupan yang hakiki, membuat banyak orang berlomba dan berebut rejeki dengan berbagai cara, bahkan menghalalkan semua cara. Seakan lupa bahwa rejeki untuk tiap orang sudah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kasih.

 

Kondisi seperti ini sangatlah nyata dalam kehidupan masyarakat kota, yang didalamnya berbaur semua manusia dengan latar belakang yang sangat berbeda, namun mereka menghadapi satu kenyataan yang sama, yaitu ketidak pastian akan masa depan.

Issue rasionalisasi, PHK massal, keterbatasan lapangan kerja, inflasi dan meningkatnya biaya hidup akan semakin menghimpit setiap orang, belum lagi kekerasan, manipulasi dan korupsi seakan menjadi lengkaplah penderitaan manusia.

 

Bila hal ini juga menjadi pemikiran kita sehari-hari, maka yang muncul adalah rasa cemas dalam menghadapi hari esok. Cobalah untuk keluar dari rutinitas, luangkan waktu sejenak untuk terbebas dari lingkaran tersebut. 

 

Lihatlah alam disekitar kita. Begitu sempurna kehidupan semesta, sinar matahari yang menyinari orang yang benar juga orang yang salah, hujan yang jatuh menetes kebumi untuk menyejukkan orang yang benar dan orang yang salah.  Semua orang mendapatkan rahmatNya.

 

Tengoklah dan amati pada sekuntum bunga liar yang terhimpit dalam semak belukar, seakan menyesakkan dan menyedihkan, tapi bunga itu tetap tumbuh dan mekar dengan indahnya tanpa mencemaskan hidupnya.

 

Atau lihatlah irama terbang burung pipit yang kecil dan lemah ketika bersyukur menyambut datangnya petang.

Serta kicauan dipagi hari menyambut mentari yang menghangatkan dan memberi tahu datangnya harapan baru untuk menikmati rejeki, seolah nyanyian suci memudji Sang Penciptanya.

Burung yang kecil dan lemah, tidak pernah menaman, tapi Tuhan selalu menyediakan makanan untuknya.

 

Haruskah kita mencemaskan hari esok?

Bagaimana rejeki kita? Karir? Keluarga? Atau apapun yang menjadi keinginan kita dan cita-cita kita?

Serahkanlah segala kecemasan kita pada Dia Yang Maha Kasih, dan mohon ampun atas salah dan dosa kita yang sering mengandalkan kemampuan sendiri.

 

Belajarlah pada bunga liar dan burung pipit, yang  selalu bersyukur dan berpengharapan kepada Sang Pencipta.

 

Ucapkan syukur dalam kehidupan sehari-hari, dan menaruh harapan pada Sang Pencipta akan membuat hidup ini tenang, damai dan tenteram tanpa diliputi kecemasan.

 

 

Bandung,   9   Mei   2005

 

 

 

PURWADI SISWANA

No comments: