Tuesday, April 21, 2009

Taman Hutan Raya Ir Juanda.




Apabila lelah menelusuri Jl. Juanda/ Dago karena keluar masuk FO dan penat karena macet, jika masih ada waktu luang cobalah untuk menuju ke arah utara jl Dago. Sampai diujung jl Dago, terdapat terminal angkot dan kurang lebih 1,5 Km akan sampai di Tahura. Istirahatlah dan nikmati sejenak suasana yang teduh, hijau hening dan udara segar untuk melepas lelah.
Untuk masuk ke Tahura tiap orang membayar Rp. 8 ribu dan kendaraan bisa parkir dalam taman dengan biaya Rp. 10 ribu/ mobil.
Kita bisa menikmati segarnya udara dan hijaunya hutan serta mengunjungi dua buah goa yaitu goa Jepang dan goa Belanda.
Ada yang unik di Goa Jepang yaitu akar2 pohon beringin yang seolah membingkai goa Jepang, tempat ini menjadi favorit untuk pengambilan photo pre wedding.
Bila anda hobby jalan kaki, tempat ini sangat cocok untuk rute jalan kaki karena dari Tahura bisa tembus ke Taman Maribaya.

Tuesday, April 14, 2009

Pemilih Pemula




Rasa penasaran yang tinggi ketika harus ikut pesta demokrasi, datang paling pagi terus absen nomor satu, karena belum berpengalanan harus nunggu dulu seremonial dan sumpah panitia pemilihan suara, timbul rasa bete.
Ketika masuk bilik suara, cukup lama mikir mana yang harus dipilih.
Ketawa setelah nyontreng, nggak jelas sebabnya.
Ngacungkan jari Victory tapi untuk siapa?
berpose sebelum masukin kartu ke kotak,
Nyelupin jari dengan semangat sebagai tanda sudah ikut pemilu.
Nih jari gue sudah ada tintanya.
Sesama pemula biasanya sharing setelah nyoblos.

Perjalanan ke Hulu Sungai CItarum




Gambar ini melengkapi tulisan perjalan di blog, perjalanan cukup menantang dan banyak pemandangan indah sepanjang perjalanan ke Hulu Sungai CItarum, yaitu Situ Cisanti. selamat menikmati

Semula menyusur Citarum menuju mata air di Situ Cisanti, akhirnya menembus hijaunya perkebunan teh Malabar

Sabtu pagi, 11 April 2009  bangun pagi terasa begitu indah, suasana pagi yang cerah, serta sapaan yang mesra dari anak dan istri . Oh...., betapa bersyukurnya saya atas segala yang Tuhan berikan. Terlebih lagi hari ini masih libur........., long week end.

Entah terlintas karena rasa penasaran seringnya berita banjir karena Citarum meluap dan Situ Cisanti yang baru ngeliat dari mbah Google Earth yang bikin penasaran atau karena teringat warung makan di pinggir sungai Citarum (di atas Pacet) dengan ikan nila bakar dan gorengnya yang mak klenyerrr...., enak tenan.  Saya ajak anak dan istriku untuk makan siang di warung ini, dan dengan senang hati mereka setuju untuk menikmati ikan nila bakar/ goreng di warung tepi sungai Citarum.

 

Sekitar pk. 10.00 WIB, kami sekeluarga berangkat dari Margahayu Raya Bandung, lewat jalan pintas Jl. Logam hingga GBA (Griya Bandung Asri) menuju jalan utama ke arah Baleendah.  Perjalanan cukup lancar, hingga pertigaan Baleendah belok ke kiri ke arah Ciparay - Majalaya.  Sepanjang perjalanan menuju Ciparay istriku mulai pesan “ jangan lupa mampir ke penjual bunga, dulu nggak jadi beli tanaman keladi yang warna daunnya merah itu lho”

Yah...., sesuai permintaan akhirnya mampir juga dan dapat tiga pot keladi warna merah sesuai keinginannya, dan kebetulan harganya lebih murah bila dibandingkan di Bandung, maupun di Cihideung – Lembang.

 

Mulai masuk daerah Ciparay, disambut dengan jalanan yang rusak seperti kubangan kerbau, mobil harus berjalan lambat dan antri agar tidak terperosok ke lubang yang dalam, lokasi ini biasa tergenang air dan banjir bila hujan tiba.

Setelah pasar Ciparay, kami belok ke kanan menuju daerah Pacet, melalui terminal kecil dan harus sabar karena angkot yang berhenti seenaknya, bahkan ada yang dekat jembatan sehingga mobil harus antri satu-persatu.

 

Suasana dan pemandangan dari Ciparay ke Pacet tidak ada yang istemewa, dan kondisi jalan relatif masih baik, sekitar 90% jalanan mulus.

Kami berhenti sebentar di depan pasar Pacet untuk membeli air putih karena wajib untuk selalu ada ketika perjalanan jauh, karena saya selalu banyak minum air putih ketika mengendari mobil agar nggak sampai kekeringan dan muncul kristal di ginjal. (maklum pernah ngerasain sakitnya ketika kristal keluar dari ginjal..... aduhhh tenan).

 

Ketika sudah melewati Pacet, mulai kelihatan panorama yang indah gunung Wayang – Windu dari kejauhan, juga hamparan sawah yang sudah mulai menguning dan birunya langit, dan gemericik air tepian sungai Citarum.

Air sungai Citarum tidak begitu deras, namun masih kelihatan sisa-sisa/ bekas alur sungai yang besar ketika hujan besar di hulu sungai Citarum. Begitu jelas perbedaan antara waktu panas dibandingkan ketika hujan deras, yang membuat arus menjadi deras dan liar. Ya....., ketika hujan di hulu sungai Citarum, maka saudara kita di Cienteung Majalaya selalu menerima kiriman banjir, meskipun di Majalan tidak hujan besar.

Kondisi ini mencerminkan bahwa kondisi DAS hulu Sungai Citarum tentunya sudah parah, benarkah kondisi DAS sudah parah?  Hal ini yang membuat penasaran untuk menengok Situ Cisanti.

 

Sesuai rencana sekitar jam 11.45 akhirnya  kami singgah di warung tepi Citarum, dan ketika kami masuk, ibu tua pemilik warung langsung mengenali saya karena ini yang ketiga kali saya datang dengan pasukan yang bertambah.

Warung makan ini, memiliki kolam ikan air deras, juga tempat pancingan dan gazebo sederhana di atas kolam ikan dan letaknya langsung berbatasan dengan sungai Citarum. Banyak pepohonan yang cukup rindang sehingga menambah keteduhan suasana terlebih lagi iringan suara air yang gemericik baik dari sungai maupun di kolam ikan. Tidak ada kebisingan dan hiruk pikuk kecuali desir angin dan gemericiknya air, terasa nyaman dan merasa benar-benar dekat dengan alam.

(Saya nggak tahu nama warung ini, tetapi lokasinya berseberangan dengan warung makan tower karena ada towernya).

 

Untuk makan siang, kami memesan ikan nilai goreng 2+1 porsi , ikan nila bakar 2 porsi, ikan nila bumbu rujak 1 porsi, karedok 1 porsi, tahu & tempe goreng 2 porsi, lalab sambel dan nasi putih satu bakul. Untuk minuman kami pesan es jeruk 2, teh botol 2 dan es teh manis 1 plus satu plastik kerupuk.

Sambil menikmati suasana dan menunggu masakan diolah kita bisa lihat secara langsung, ikan nilai diambil dari kolam jernih untuk nila yang akan dimasak, benar-benar ikan segar.

 

Ikan nila bakar tampilannya kurang menarik karena bara api yang terlalu besar sehingga terkesan ikan kebakaran, karena kulit ikannya hangus terbakar, namun dengan sedikit usaha memisahkan kulit ikan, akan diperoleh daging ikan yang putih bersih dan ketika dicelup kedalam sambal kecap terus dicocol dengan nasi putih, ternyata enak tenan.

 

Ikan nila goreng, untuk tampilannya menarik karena kelihatan kering dan kuning,  gigitan pertama terasa gurih, renyah terlebih lagi dibarengi dengan sambal dadak terasi yang ditemani lalaban timun. Karena 2 porsi merasa kurang, maka segera minta tambah 1 porsi lagi biar makannya tidak terputus. Enak tenan tak terkira.

 

Ikan nila bumbu rujak, untuk tampilan sangat menarik, karena ikan nila yang sudah digoreng dimasak lagi dengan bumbu rujak dan diatasnya ditaburi cabe rawit merah dan juga potongan daun bawang serta bawang goreng. Menggugah selera makan dan memang benar saya harus nambah nasi putih. Enak tenan tak terkira.

 

Untuk tahu dan tempe goreng, serta karedok rasanya standar saja, tidak istemewa.

 

Menurut kami, secara keseluruhan hidangan makan siang ini istimewa karena suasana yang alami, ditambah rasa yang enak tenan dan jadi lebih istimewa lagi karena total bon sekitar Rp. 107. ribu.

 

Sembari menikmati rasa kenyang dan sedikit ngantuk, kami mulai beres-beres untuk jalan lagi, menuju hulu Citarum. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 kami melanjutkan perjalanan.

 

Mulai dari warung ini, pemandangan sudah mulai berubah, sepanjang kiri kanan jalan terlihat sebagian besar sawah yang sudah mulai menguning, namun di kejauhan nampak bukit yang kecoklatan karena sudah tidak ada hutan, sudah berubah menjadi ladang pertanian yang sebagian besar untuk tanaman sayuran.

 

Pemandangan yang indah dapat dinikmati ketika mulai tanjakan dekat dengan kebun strawberry, hamparan sawah yang menguning dan terasering sawah di pinggiran sungai Citarum. Dekat kebun strawberry terdapat warung-warung kecil yang menyediakan minuman hangat juga makanan kecil. Kita bisa menikmati hamparan sawah dan gunung dikejauhan sembari menghirup aroma kopi di dinginnya alam. Saya membayangkan seandainya saja bisa menikmati sun rise di tempat ini, tentu sangat indah sekali karena sejauh mata memandang ke arah timur nampak lembah kota Bandung.

 

Setelah puas mengambil gambar di lokasi ini, kami melanjutkan perjalanan dan tidak berapa lama kami sudah harus menghadapi jalanan yang mulai rusak. Sebagian besar aspal sudah hilang tinggal bebatuan dan lobang yang cukup besar seolah badan ikut bergoncang ketika mulai memasuki tanjakan yang penuh lobang.

 

Pemandangan berubah total ketika sudah melewati beberapa tanjakan, sepanjang jalan terlihat tanaman sayuran seperti kol, bawang merah, kentang juga sayuran lainnya. Di kejauhan sepanjang mata memandang terlihat bukit gundul yang tidak ada pohon besar, yang ada tanaman sayuran dan tanah coklat yang sedang diolah.

Sementara jalanan mulai tambah parah tinggal tanah dan makadam, serta sisa-sisa alur air yang membawa tanah erosi di pinggiran jalan.

Tidak adanya hutan dan tanah yang terus menerus diolah maka secara perlahan dan pasti hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banjir di daerah pinggiran DAS Citarum di Majalaya, Bale Endah, juga Dayeuhkolot.

Jka tidak ada keseimbangan pengelolaan tanah dan menjaga kelestarian hutan, maka sebenarnya kita sedang menabung kehancuran lingkungan yang akan dinikmati anak cucu kita.

 

Wajarlah ketika Bpk Gubernur Jabar menyampaikan wacana untuk meminta dukungan dana dari pemerintah pusat untuk membeli Gunung Wayang, sebagai salah satu cara untuk memperbaiki lingkungan hidup di sekitar gunung Wayang dan DAS Citarum.

 

Sambil merenungi kondisi lereng gunung Wayang yang sudah rusak, ditambah jalan yang rusak, kalau boleh dikatakan hancur (akibat tidak terpeliharanya saluran, kiriman banjir erosi juga angkutan kendaraan sayuran yang berat) perasaan perjalanan kali ini lama sekali, sehingga sampai beberapa kali kami harus tanya arah ke situ Cisanti.

Kondisi jalan yang rusak ini membuat kami harus ektra hati-hati ketika harus berpapasan dengan kendaraan lain supaya tidak masuk dalam lubang yang cukup besar.

Meskipun jalanan banyak yang rusak, namun arus kendaraan yang melewati cukup banyak bahkan bisa dikatakan ramai karena banyak kendaraan roda dua juga truk pengangkut sayuran serta beberapa kendaraan pribadi, sejalan dengan aktivitas perdagangan sayuran di daerah ini.

 

Ketika sampai di daerah Sukasari, kami memperoleh informasi kalau situ Cisanti sudah relatif dekat dan berada setelah pasar Cibeurem, lokasinya sebelah kanan jalan dan ada akses masuk ke tempat parkir mobil. Selain itu juga dapat informasi bahwa jalur tersebut dapat langsung tembus ke Pangalengan melalui perkebunan teh.

 

Suasana ramai nampak di Cibeurem, terlebih lagi ketika mendekati pasar yang masih buka, mungkin lokasi ini merupakan tempat tujuan berbelanja untuk kebutuhan harian maupun keperluan pertanian.

 

Akhirnya kami sampai ke jalan yang cukup datar dan sedikit halus dan di samping jalan terlihat mobil parkir, maka kami arahkan kesana dan ternyata benar bahwa kami sudah sampai di lokasi wana wisata Gunung Wayang Windu, hulu sungai Citarum.

Lokasinya tepat dibawah kaki gunung Wayang Windu dan masih terdapat cukup banyak pohon yang besar.

 

Setelah membayar retribusi, kami ngobrol dengan petugas jaga dan kami peroleh informasi bahwa biasanya wisatawan cukup ramai kalau hari minggu atau hari libur. Juga ada yang camping di lokasi situ Cisanti, karenatersedia camping ground yang cukup memadai. Petugas itu menyarankan agar kalau pulang ke Bandung lebih baik melewati jalur ke Pangalengan dari pada harus kembali ke Pacet karena kondisi jalan lebih baik melalui perkebunan teh terus ke Pangalengan.

 

Segera kami menuruni jalan setapak menuju situ Cisanti yang berjarak kurang lebih 300 meter dari tempat parkir. Situ Cisanti bentuknya memanjang dan tepat bersebelahan dengan hutan kaki gunung Wayang yang kelihatannya masih cukup terawat.

Air di situ terlihat tenang, jernih dan sebagian ditengah situ tertutup gulma yang mengambang sehingga tidak semua permukaan air telihat biru.

Begitu jernihnya air di situ ini, saya bisa melihat ikan ikan kecil berwarna merah yang sedang mengerubungi umpan kail yang dilemparkan oleh pemancing.

Cukup banyak pemancing yang ada dipinggiran situ, ada juga beberapa pemancing yang menggunakan ban dalam untuk memancing ke tengah situ.

 

Terlihat juga ramainya pemuda-pemuda yang sedang bermain bola disekitar kemah yang mereka dirikan, serta diujung situ juga terdapat warung kecil yang melayani untuk kebutuhan sehari-hari.

 

Ketika dipinggir situ, dan menikmati keindahan lingkungan, rasa lelah yang tertahan selama perjalan, serasa hilang dan seakan mendapat semangat baru. Setelah menikmati pemandangan dan mengambil gambar sekitar pukul 14.30, kami bergegas ke tempat parkir untuk melanjutkan perjalanan, dengan semangat mengambil rute memutar lewat pangalengan.

 

Dari tempatparkir, kami mengambil arah ke kanan menuju Pangalengan, dan sempat kami agak ragu ketika baru berjalan sekitar 500 meter, kami sudah menghadapi jalan tanjakan yang rusak berat. Namun setelah tanjakan habis, kami melihat jalan yang relatif datar dan tidak beraspal (makadam) namun lebih halus dari pada jalan yang telah kami lalui menuju situ Cisanti.

 

Sejauh mata memandang, hanya terlihat perkebunan teh dan jalan makadan kami lalui hingga sampai ke Pabrik teh Kertasari. Suasana perumahan di perkebunan teh  Kertasari bangunannya relatif lebih baik dibandingkan dengan perkebunan yang lain.

 

Dari Pabrik Kertasari, kami menuju ke perkebunan Santosa, dengan berjalan ditengah-tengah perkebunan teh yang sangat rapi dan teratur, seolah seperti hamparan permadani hijau sepanjang dataran tinggi dan kaki gunung Wayang.

 

Setelah melewati perkebunan Santosa jalan sudah mulai nyaman karena masih beraspal dan cukup halus. Kami sempat bertanya ke pengendara motor ketika sampai di persimpangan untuk menanyakan rute ke Pangalengan. Kami mengambil belok kanan menuju perkebunan Purbasari dengan tetap melewati perkebunan teh, dan akhirnya sampai juga ke Pabrik Teh Malabar. Hingga akhirnya kami keluar pintu gerbang perkebunan menuju ke Pangalengan.

 

Setiap kali kami ke Pangalengan, rasanya kurang lengkap kalau tidak menikmati hangatnya susu segar atau bandrek susu untuk menghangatkan badan. Kali ini kami juga singgah di warung langganan kami  untuk menikmati menu wajib, yaitu susu segar dan bandrek susu, sekaligus untuk istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung.

 

Dari Pangalengan, kami mengambil rute ke Banjaran, Bale Endah, Dayuehkolot, Bojongsoang, dan akhirnya sampai ke terusan Kiara Condong, maka sampailah ke Margahayu Raya dengan selamat.

 

Perjalanan kali ini, memberikan beberapa pelajaran bagi kami, mengenai pentingnya menjaga lingkungan hidup , mengelola dan menjaga keseimbangan agar bermanfaat untuk masa sekarang juga untuk masa yang akan datang bagi anak cucu kita.

Betapa indahnya ketika kita terlepas dari kesibukan sehari-hari dan menyatu dengan alam untuk memahami indahnya alam Indonesia ini.

Kemajuan ekonomi bagi rakyak adalah penting, namun menjaga alam agar tetap bersahabat itu lebih penting.

 

Bersyukurlah kalau kita masih diberi kesempatan untuk menikmati keindahan alam ciptaan-Nya dan ikut menjaga kelestariannya.

 

Bandung,  11  April  2009