Nyanyian
kanak-kanak sewaktu saya masih kecil dan hingga sekarang yang selalu membekas
dalam hati adalah syair lagu :
“Kasih
ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali,
bagai sang surya menyinari dunia”
Pada
saat saya kecil, hanya sekedar menyanyi dan belum memahami akan arti dari
kata-kata tersebut. Namun setelah beranjak dewasa, saya sangat kagum kepada
pencipta lagi ini, betapa dalam makna yang tersirat dari lagu ini tentang kasih
sayang seorang ibu kepada anak-anaknya.
Siapakah
yang mampu memelihara dengan tulus, sehingga seorang anak dapat tumbuh
berkembang dengan baik? Siapakah yang mampu membimbing dan mengarahkan dalam
menjalani tantanganan hidup ini? Siapakah yang selalu menanti kala kita pulang kerumah
semasa masih remaja? Siapakah yang selalu memeluk dengan penuh kasih kala kita
sakit? Hanya seorang ibu yang mampu untuk berbuat itu semua.
Sepanjang hidupnya, ibu selalu
bersedia berkorban untuk anak-anaknya hingga mampu untuk hidup mandiri. Bahkan
ketika anak sudah dewasa dan berkeluarga, ibu akan selalu setia mengunjunginya
terlebih lagi setelah ada cucu yang dikasihinya.
Apapun yang ibu miliki seperti
waktu, tenaga, perasaan, bahkan juga materi, akan diberikan kepada anaknya agar
anaknya bisa hidup damai dan bahagia. Itulah cita-cita luhur setiap ibu yang
berharap bahwa anak-anaknya akan dapat hidup dengan damai dan berguna bagi
sesamanya.
Apakah ibu mengharapkan balasan
dari anak-anaknya? Tentu tidak !
Seperti syair lagu diatas, dang
ibu ”bagai sang surya menyinari dunia”, seperti matahari yang setia terbit dari
timur, memberikan terang, kehangatan, panas yang selalu dinantikan oleh semua
mahluk hidup.
Begitu setianya ibu kepada
anak-anaknya, selalu tercurah kasih sayang, perhatian dan segala keperluan
anaknya, tanpa mengharap balas jasa.
Ketika anak-anak menginjak masa
remaja, kemudian dewasa. Sikap memberontak mulai muncul karena menghadapi masa
puber, merasa sudah mampu untuk melakukan sesuatu tanpa harus minta bantuan
kepada ibu. Terlebih lagi adanya kesenjangan baik pendidikan maupun lingkungan
yang sudah berbeda dengan masa lalu, membuat pandangan anak-anak banyak
berseberangan dengan pandangan ibu.
Memang tidak sepenuhnya anak-anak
keliru, karena jaman yang sudah berubah, namun akan lebih baik bila perbedaan
pandangan tidak menjadi pembuat jarak antara ibu dengan anak.
Ketika sudah dewasa dan secara
ekonomi mapan, banyak pandangan yang lebih bersifat materialistis mengenai
bagaimana mengasihi ibu. Karena alasan sibuk, maka lebih banyak orang hanya
mengirim uang secara teratur dalam jumlah yang lebih dari cukup dengan anggapan
ibu akan senang bila memperoleh kiriman uang. Sementara jarang sekali
mengunjungi ibunya secara khusus, atau mengajak ibunya untuk bersama
dirumahnya.
Mungkin yang ada dalam benak anak
itu adalah bila mengirim uang maka akan dapat membalas budi ibunya, karena
secara materi anaknya memang sangat mencukupi.
Berapapun materi yang diberikan
kepada ibunya, tidak mungkin untuk membalas kebaikannya.
Adakah yang bisa mengitung secara
materi mengenai pengorbanan seorang ibu, mulai dari masa mengandung,
melahirkan, memelihara ketika masih bayi, bangun malam hari hingga pagi untuk
menyusui, mengganti popok yang basah, kemudian ketika mulai belajar jalan,
mulai sekolah hingga menghantar sampai ke pelaminan untuk siap membentuk
keluarga yang baru.
Jelas tidak akan mungkin kita
membalas kebaikan ibu, apalagi bila dihitung secara materi.
Apa yang mungkin kita lakukan
untuk ibu?
Hanya dengan menyenangkan hati
ibu, maka ibu akan merasa bahagia terhadap perilaku anaknya.
Sikap patuh, senyuman yang tulus,
menemani berbicara atau bercerita, menjenguk ibu secara khusus seperti masa
lebaran atau natal atau hari-hari istimewa lainnya bagi ibu.
Perhatian-perhatian kecil yang
menyenangkan, seperti misalnya makanan kecil kesukaan ibu, syal, sapu tangan,
tas atau sandal yang harganya juga tidaklah mahal, tetapi hal itu disukai oleh
ibu.
Atau mungkin mengajak jalan-jalan
bersama, ketempat yang disukai ibu. Semua itu bila dibandingkan dengan kiriman
uang yang besar setiap bulan, mungkin tidak ada artinya, namun bila ditinjau
dari sudut non materi, hal ini akan berdampak besar bagi ibu karena akan mampu
menyenangkan hatinya.
Hanya sebatas menyenangkan hati
ibu, yang bisa kita lakukan selaku anak-anaknya, karena
untuk membalas kebaikannya kita tidak akan pernah mampu melakukannya, dan perlu
diingat ibu seperti matahari yang tidak pernah berharap ada balas budi.
Apabila saat ini, pembaca masih
diberi kesempatan untuk menyenangkan hati ibu, lakukanlah sekarang karena
ketika ibu sudah pulang ke pangkuanNYa, kita tidak lagi memiliki kesempatan
untuk menyenangkan hatinya.
Ibu, aku kangen pelukanmu
Ibu, aku kangen belaianmu
Ibu, aku kangen usapan tanganmu
dikepalaku
Ingin kutumpahkan tangis dan rinduku
dipangkuanmu.
Bandung, 12 Desember 2005