Wednesday, January 14, 2009

Liburan Akhir tahun 2008 - Lewat Pacitan




Hampir setiap tahun, ketika menjelang akhir tahun selalu di uber-uber gawean, karena kebetulan muara akhir ada di unit saya. Mulai awal Desember 2008 menu pokok menjadi hidangan rutin yaitu “Menu Nasi Goreng atau Bubur Ayam”
Nasi goreng adalah istilah kalau pulang kerja larut hingga sebelum tengah malam, Bubur Ayam istilah kalau kami harus pulang lewat tengah malam atau subuh.

Namun demikian akhirnya pekerjaan dapat selesai sesuai jadwal, karena Tim yang solid dan tentunya anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih.
Sementara anak2 sudah dapat libur, saya masih berkutat dengan kerjaan, sehingga boleh dikatakan tidak punya rencana yang matang untuk liburan akhir tahun 2008, sehingga belum sama sekali booking untuk penginapan.
Dan ketika dapat ijin cuti, saya langsung info ke pasukan di rumah, hari ini kita berangkat liburan, dan anakku bilang bagaimana kalau ke Bromo? Boleh jawabku.

Tanggal 24 Desember 2008 rute 1 Bandung – Yogya,
Sore hari berangkat ke Yogya, kebetulan Abam putra sulungku sudah cukup mantap bawa kendaraan (terbukti saya bisa tidur mendengkur), sampai di Yogya sekitar pukul 10 Malam, dan list telepon hotel/ penginapan langsung dicoba ternyata……., semua sudah full booked. Tidak ada kata menyerah, kami yakin pasti ada penginapan yang bisa kami dapatkan untuk istirahat malam itu. Dengan spekulasi, langsung tancap ke Indraloka Guest House, dan ternyata….. ada satu kamar family room yang baru keluar sore hari.
Puji Tuhan, malam ini nggak perlu nyari hotel di pinggir Yogya.
Malam itu Yogya cerah tidak turun hujan, aku bilang ke Abam, bagaimana kalau kita nongkrong di angkringan kopi joss! Wis…., tanpa lama2 lagi kami berdua menuju Stasiun Tugu, untuk nyruput kopi joss yang hangat dan menikmati nasi kucing beserta gorengan. Suasana sangat rame, dan kebanyakan pengunjungnya dari luar kota Yogya, karena kami tahu dari logat bicara mereka.

Tanggal 25 Desember 2008 Rute 2 Yogya – Malang
Kami bangun pagi sekitar jam 5 pagi, agar dapat mengikuti kebaktian Natal jam 7.00 sehingga punya banyak waktu untuk melanjutkan perjalanan kami ke Malang.
Selesai kebaktian dan sarapan pagi, kami siap-siap melanjutkan perjalanan liburan, dan berangkat sekitar jam 10.00, kali ini kami mengambil rute Yogya, Wonosari, Wonogiri, Pacitan, Trenggalek, TulungAgung, Blitar, Malang.
Untuk rute Pacitan – Trenggalek, kami tidak melalui jalan utama tetapi dengan berbekal peta, kami mencoba melewati desa-desa yang berdekatan dengan Pantai Selatan Jawa. Saya penasaran karena ada info dari rekan yang mengikuti milis escudo, menginformasikan kalau rute ini cukup menantang dan pemandangan alam yang sangat indah.
Perjalanan dari Yogya hingga Pacitan boleh dikatakan nyaman karena jalanan mulus sudah hotmix, hanya beberapa kelokan dan tanjakan yang cukup tajam terutama di hutan Jati sebelum masuk Pracimantoro.
Pemandangan sepanjang jalan enak untuk dinikmati karena indah dan kebetulan cuaca sangat cerah. Kami mulai mengambil gambar ketika sudah mendekati Pacitan dan berhenti dipuncak bukit mengarah ke teluk Pantai Teleng Ria. Indah benar…. Kami berhenti cukup lama untuk mengambil gambar dan menikmati pemandangan dari puncak bukit.
Demikian juga ketika menuruni bukit menuju kota Pacitan, sempat beberapa pemandangan pantai dari sela-sela pohon jati dan dermaga TPI.
Akhirnya sampai ke Pantai Teleng Ria, pantainya bersih, dan cukup landai, dan benar-benar indah pemandangan di Pantai Teleng Ria.
Sembari menikmati pemandangan pantai kami singgah di cafe, dengan menu utama bbq ikan laut, kualitas ikannya lumayan karena masih terasa rasa manis dan rasanyapun tidak mengecewakan, bahkan kalau dari sisi harga menurut kami sangat murah.
Kami memesan 2 porsi udang goreng tepung, 1 porsi tuna bbq, 2 porsi bawal putih bbq dan lima nasi putih, serta 4 es jeruk, total kerusakan sekitar Rp. 152 ribu.
Ini satu-satunya cafe di Pantai Teleng Ria.

Sekitar pukul 14.00 kami meninggalkan pantai Teleng Ria, dan di gerbang berpapasan dengan beberapa kendaraan wisata juga bis yang mau masuk ke pantai, kelihatannya mereka berasal dari Jawa Tengah.

Untuk memastikan rute alternatif, saya sempatkan ngobrol dengan pengendara Truk di Pacitan, dan informasi yang diperoleh, secara umum jalan layak dilalui kendaraan, hanya akan jadi kendala bila terjadi longsor, apalagi sekarang banyak truk tronton yang mengangkut material untuk PLTU. Jadi kalau beruntung semuanya lancar karena kalau bertepatan dibelakang truk tronton, maka harus bisa melatih kesabaran.

Setelah meninggalkan kota Pacitan melalui jalur alternatif, mulai terasa tanjakan yang cukup tajam dan jalan yang mulai rusak. Sepanjang perjalan ini kami jarang sekali berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan, kondisi jalan sebagian sudah mulai rusak, sebagian masih ada bekas-bekas pembersihan bekas longsor dan beruntung karena tidak hujan maka kami masih bisa memilih jalan yang tidak berlubang.

Pemandangan sangat indah, karena sebelah kanan jalan, sepanjang mata memandang sebagian besar biru karena pantai selatan kelihatan secara jelas. Demikian pula dengan kondisi hutan, masih relatif terjaga karena masih hijau dan tidak kelihatan terjadi penggundulan hutan. (lihat posting di album photo : 3ojo.multiply.com)

Kami sempat berhenti dan mengambil gambar dari ketinggian jalan ke arah pantai, juga proyek PLTU Pacitan yang sedang dibangun tepat dipinggir pantai, yang tentunya mempermudah akses pengiriman batubara bila dekat dengan pantai.

Rute ini benar-benar membutuhkan skill yang memadai dan sedikit nekat karena kondisi jalan yang benar2 menantang, (tikungan dan tanjakan/ turunan tajam) juga sepi nggak karena jarang pemukiman penduduk. Selain itu juga tidak kami temui SPBU (jadi full tank wajib dilaksanakan sebelum masuk jalur ini), selain itu juga bila terjadi ban kempes/ bocor, jangan harap ada tukang tambal ban (Ban serep wajib tersedia).

Sekitar jam 17.30, akhirnya kami memasuki kota Trenggalek, dan melalui jalur utama menuju kota Tulungagung, terus ke Blitar, kepanjen dan akhirnya sampai di Malang sekitar jam 20.30. Karena tidak booking penginapan, maka kami keluarkan lagi list hotel coba telepon sana-sini akhirnya setelah hampir 30 menit kami dapat kamar di Hotel Pelangi, sebelah selatan alun2 kota Malang.

Monday, January 12, 2009

HANYA MENYENANGKAN HATINYA

Nyanyian kanak-kanak sewaktu saya masih kecil dan hingga sekarang yang selalu membekas dalam hati adalah syair lagu :

“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”

Pada saat saya kecil, hanya sekedar menyanyi dan belum memahami akan arti dari kata-kata tersebut. Namun setelah beranjak dewasa, saya sangat kagum kepada pencipta lagi ini, betapa dalam makna yang tersirat dari lagu ini tentang kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya.

 

Siapakah yang mampu memelihara dengan tulus, sehingga seorang anak dapat tumbuh berkembang dengan baik? Siapakah yang mampu membimbing dan mengarahkan dalam menjalani tantanganan hidup ini? Siapakah yang selalu menanti kala kita pulang kerumah semasa masih remaja? Siapakah yang selalu memeluk dengan penuh kasih kala kita sakit? Hanya seorang ibu yang mampu untuk berbuat itu semua.

 

Sepanjang hidupnya, ibu selalu bersedia berkorban untuk anak-anaknya hingga mampu untuk hidup mandiri. Bahkan ketika anak sudah dewasa dan berkeluarga, ibu akan selalu setia mengunjunginya terlebih lagi setelah ada cucu yang dikasihinya.

Apapun yang ibu miliki seperti waktu, tenaga, perasaan, bahkan juga materi, akan diberikan kepada anaknya agar anaknya bisa hidup damai dan bahagia. Itulah cita-cita luhur setiap ibu yang berharap bahwa anak-anaknya akan dapat hidup dengan damai dan berguna bagi sesamanya.

 

Apakah ibu mengharapkan balasan dari anak-anaknya? Tentu tidak !

Seperti syair lagu diatas, dang ibu ”bagai sang surya menyinari dunia”, seperti matahari yang setia terbit dari timur, memberikan terang, kehangatan, panas yang selalu dinantikan oleh semua mahluk hidup.

Begitu setianya ibu kepada anak-anaknya, selalu tercurah kasih sayang, perhatian dan segala keperluan anaknya, tanpa mengharap balas jasa.

 

Ketika anak-anak menginjak masa remaja, kemudian dewasa. Sikap memberontak mulai muncul karena menghadapi masa puber, merasa sudah mampu untuk melakukan sesuatu tanpa harus minta bantuan kepada ibu. Terlebih lagi adanya kesenjangan baik pendidikan maupun lingkungan yang sudah berbeda dengan masa lalu, membuat pandangan anak-anak banyak berseberangan dengan pandangan ibu.

Memang tidak sepenuhnya anak-anak keliru, karena jaman yang sudah berubah, namun akan lebih baik bila perbedaan pandangan tidak menjadi pembuat jarak antara ibu dengan anak.

 

Ketika sudah dewasa dan secara ekonomi mapan, banyak pandangan yang lebih bersifat materialistis mengenai bagaimana mengasihi ibu. Karena alasan sibuk, maka lebih banyak orang hanya mengirim uang secara teratur dalam jumlah yang lebih dari cukup dengan anggapan ibu akan senang bila memperoleh kiriman uang. Sementara jarang sekali mengunjungi ibunya secara khusus, atau mengajak ibunya untuk bersama dirumahnya.

Mungkin yang ada dalam benak anak itu adalah bila mengirim uang maka akan dapat membalas budi ibunya, karena secara materi anaknya memang sangat mencukupi.

Berapapun materi yang diberikan kepada ibunya, tidak mungkin untuk membalas kebaikannya.

Adakah yang bisa mengitung secara materi mengenai pengorbanan seorang ibu, mulai dari masa mengandung, melahirkan, memelihara ketika masih bayi, bangun malam hari hingga pagi untuk menyusui, mengganti popok yang basah, kemudian ketika mulai belajar jalan, mulai sekolah hingga menghantar sampai ke pelaminan untuk siap membentuk keluarga yang baru.

Jelas tidak akan mungkin kita membalas kebaikan ibu, apalagi bila dihitung secara materi.

 

Apa yang mungkin kita lakukan untuk ibu?

Hanya dengan menyenangkan hati ibu, maka ibu akan merasa bahagia terhadap perilaku anaknya.

Sikap patuh, senyuman yang tulus, menemani berbicara atau bercerita, menjenguk ibu secara khusus seperti masa lebaran atau natal atau hari-hari istimewa lainnya bagi ibu.

Perhatian-perhatian kecil yang menyenangkan, seperti misalnya makanan kecil kesukaan ibu, syal, sapu tangan, tas atau sandal yang harganya juga tidaklah mahal, tetapi hal itu disukai oleh ibu.

Atau mungkin mengajak jalan-jalan bersama, ketempat yang disukai ibu. Semua itu bila dibandingkan dengan kiriman uang yang besar setiap bulan, mungkin tidak ada artinya, namun bila ditinjau dari sudut non materi, hal ini akan berdampak besar bagi ibu karena akan mampu menyenangkan hatinya.

Hanya sebatas menyenangkan hati ibu, yang bisa kita lakukan selaku anak-anaknya, karena untuk membalas kebaikannya kita tidak akan pernah mampu melakukannya, dan perlu diingat ibu seperti matahari yang tidak pernah berharap ada balas budi.

 

Apabila saat ini, pembaca masih diberi kesempatan untuk menyenangkan hati ibu, lakukanlah sekarang karena ketika ibu sudah pulang ke pangkuanNYa, kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk menyenangkan hatinya.

 

Ibu, aku kangen pelukanmu

Ibu, aku kangen belaianmu

Ibu, aku kangen usapan tanganmu dikepalaku

Ingin kutumpahkan tangis dan rinduku dipangkuanmu.

 

Bandung,  12 Desember 2005

Pernikahan

Hampir setiap pasangan yang sudah berpacaran lama dan serius menjalin hubungan, mengharapkan dapat melangkah ke jenjang pernikahan. Seolah masa pacaran akan segera berakhir diganti menjadi hubungan sebagai suami dan istri. Ketika pernikahan di tetapkan, mereka saling berjanji untuk saling setia dan mengasihi baik dalam suka maupun duka.

Impian yang selalu indah pada masa pacaran, mungkin tidak sepenuhnya dapat menjadi kenyataan, karena semasa pacaran lebih banyak kebaikan dan kelebihan calon pasangannya yang diketahui, sementara setelah bersatu dalam keluarga, semakin banyak mengetahui sikap yang membuat kesal dan berbagai kekurangan yang ada. Perbedaan sudut pandang dalam menghadapi persoalan maupun kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang sangat bertolak belakang, semakin mewarnai kehidupan dalam rumah tangga. Sebagai contoh, sang suami sangat menikmati hari liburnya di rumah dengan semaunya, seperti membaca surat kabar pagi hari ditemani secangkir kopi dan kaki naik diatas meja, sementara lembar-lembar yang lain berserakan dilantai. Bila sang istri mempunyai kebiasaan yang serba teratur, mungkin tidak bisa menerima kondisi seperti ini.

Apabila bersikukuh dengan perasaan dan kemauan masing-masing, maka mulai muncul persoalan yang sebenarnya sepele tetapi dapat menjadi masalah yang besar. Namun sebaliknya, jika masing-masing memahami bahwa dalam berkeluarga, sebenarnya dapat menjadi keluarga yang baik bila memahami akan kekurangan dan kelebihan pasangannya karena akan saling menguatkan satu sama lainnya.

Perkawinan ibarat menyatukan dua buah meja menjadi satu meja yang lebih besar atau lebih panjang. Tidak mungkin terbangun satu meja yang sempurna kalau dua meja hanya diimpitkan saja, teapi harus ada pengorbanan untuk menghilangkan sepasang kaki meja agar dapt disatukan menjadi satu meja yang panjang dengan empat kaki meja.  Kehilangan sepasang kaki meja itu dapat dibaratkan pengorbanan dari masing-masing pasangan agar tetap menjadi satu meja yang lebih besar dan utuh.

Pernikahan bukan menjadi tujuan akhir dari masa pacaran, karena setelah melalui pernikahan, sebenarnya merupakan awal pondasi untuk membangun kehidupan berkeluarga. Ibaratnya setelah menikah memulai untuk menyusun satu-persatu “batu bata kasih” untuk membangun rumah tangga yang penuh kasih.  Perlu kesabaran, ketekunan, saling percaya saling mengasihi, saling mambantu dan lebih dari itu, selalu ada tempat untuk memaafkan.

Seperti ibarat bangunan, kekuatan utama adalah pada pondasi dasarnya, semakin kuat dan besar pondasi bangunan maka, bangunan yang berdiri diatasnya akan tetap berdiri kokoh apabila menghadapi berbagai cuaca yang sering berubah, bahkan sekalipun angin badai yang menerjang bangunan itu. Kesetiaan dan kepercayaan kepada pasangannya menjadi pondasi yang kuat dalam berumah tangga. Semakin hari akan dapat membangun kehidupan penuh kasih dan sayang diantara mereka, terlebih lagi bila sudah mendapat karunia dari Tuhan Yang Maha Kasih,  dalam diri anak-anak mereka.

Ketika penulis menghadiri undangan syukuran dan perayaan ulang tahun perkawinan yang ke 25 tahun, ada satu hal yang menarik untuk menjadi contoh, yaitu ketika Pastur menanyakan satu kalimat “Pernahkan terpikir oleh masing-masing untuk berpisah setelah mengarungi kehidupan berumah tangga?” Jawabannya “tidak”, dan Pastur menyampaikan kalau hal itulah menjadi penguat dalam berumah tangga. Berawal dari pikiran, dan dibumbui dengan selalu melihat kekurangan pasangan, dapat menyebabkan goyahnya perkawinan, bahkan dapat terjadi perceraian. Itulah sebabnya mengapa penting adanya kesetiaan dan kepercayaan kepada pasangan, agar tidak pernah terpikirkan untuk berpisah.

Ketika usia semakin tua, perubahan fisik terjadi pada pasangannya, seperti rambut yang mulai jarang, perut yang semakin buncit, wajah yang mulai berkerut, lengan tangan mulai kendur, dan berbagai kekurangan fisik lainnya yang membuat tidak lagi sedap dipandang mata.  Biarlah secar fisik berubah menjadi tidak indah lagi, namun kesetiaan dan kepercayaan tetap tumbuh sepanjang hari, maka kekurangan fisik itu menjadi tidak berarti lagi bagi pasangannya.

 Akan menjadi lebih indah lagi, bila melihat pasangannya bukan dengan mata sebagai indra penglihat, tetapi lebih dari itu melihat dengan mata hati pasangannya, maka segala sesuatu yang ada dipasangannya menjadi lebih indah dari aslinya. Ibaratnya seorang arkeolog, yang selalu mengagumi akan sesuatu yang sudah berumur ratusan tahun, sesuatu yang wujudnya sudah jelek, tetapi tetap menjadi satu hal yang sangat dikagumi dan disayangi, maka jadilah seorang arkeolog bagi pasangannya yang selalu menjaga, menyayangi, memelihara, mengasihi meskipun secara fisik sudah tidak seindah pada masa pacaran dulu.

Tetaplah membangun “batu bata kasih” setiap hari untuk memperkuat ikatan perkawinan dengan saling percaya dan setia.  Ucapkan kata mesra sperti sewaktu pacaran dulu “ I luv u”, “terima kasih yang”, “saya memaafkanmu” sebagai perekat “batu bata kasih”.

Umur semakin tua, fisik tidak sedap dipandang mata, tetapi bila pasangan tetap saling percaya dan setia, maka pernikahan itu akan tetap ada, dan berakhir ketika maut memisahkan mereka.

 

Semoga!

Memberi

Ketika aku masih kecil, ibuku sering berkata “lebih baik tangan di atas dari pada tangan dibawah”, secara tidak langsung ibuku sudah menanam benih hasrat untuk selalu memberi. Sikap memberi, benar-benar ditanamkan kepada anak-anak, meskipun bila dilihat dari segi ekonomi, keluarga kami dapat dikatakan keluarga yang akrab dengan masalah kesulitan ekonomi. Namun ibu selalu mengajarkan agar kami bisa memberi kepada sesama. Mungkin akan timbul pertanyaan, bagaimana mungkin keluarga yang hidup serba kekurangan tetapi mengajarkan untuk dapat memberi?

Adalah suatu hal yang aneh bila dilihat dari kondisi sekarang, bagaimana mungkin dalam kondisi serba kekurangan tetapi mampu memberi.

Ya, memang apa yang kami berikan bukanlah dalam bentuk materi yang besar jumlahnya, bahkan mungkin tidak ada artinya bila dibandingkan dengan nilai uang.

 

Memberi bukan selalu dalam bentuk materi, tetapi banyak hal dapat diberikan kepada sesama kita, seperti sikap melayani, memberi perhatian, ringan tangan terhadap kesulitan orang lain, bahkan mungkin memberi tenaga atau saran kepada orang lain yang membutuhkan , merupakan wujud nyata dari sikap memberi. Satu hal yang mungkin jarang terjadi di jaman ini, ketika ada orang kemalaman dan kelaparan, dengan ringan tangan ibuku mengambil sepiring nasi untuk diberikan kepada orang asing yang tidak kenal asal usulnya. Memberi tanpa pamrih, memberi tanpa ada maksud tersembunyi, memberi tanpa mengharap kembali.

 

Perubahan telah terjadi sedemikan cepat dalam segi-segi kehidupan saat ini, dimana ukuran keberhasilan lebih banyak dinilai dari materi, sehingga dalam hal memberipun, muncul kecenderungan pada berapa besar seseorang akan memberikan sesuatu kepada orang lain. Sementara dari sisi noo-materiil, mulai jarang dijumpai karena hampir semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, kalaupun ada dan terjadi, itu lebih banyak karena orang tersebut sudah kenal, atau ada hubungan kerja atau kerabat.

 

Ketulusan memberi, mungkin sudah mulai pudar, karena pada jaman modern ini, sifat memberi itu menjadi sifat musiman. Mengapa sifatnya musiman? Banyak orang berbondong-bondong memberikan bantuan ketika ada saudara kita yang tertimpa bencana, dan pada saat memberikan bantuan, disertai pasukan untuk mengabadikan moment pemberian bantuan. Dan keesokan harinya muncul gambar disurat kabar kalau si Anu sudah memberikan sumbangan.

Selang beberapa hari kemudian, si Banu datang juga sambil membawa atribut partai tertentu untuk memnyerahkan bantuan.  Tidak lupa memberikan sambutan dan foto kesana kemari, untuk menarik simpati. Lalu datang si Canu seorang pejabat dengan protokoler juga memberikan bantuan, untuk menunjukkan sikap empati kepada para korban.

Juga terjadi peningkatan ketika menjelang bulan-bulan perayaan keagamaan, sementara dihari-hari biasa, akan jarang ditemui orang yang memberikan bantuan kepada sesama.

 

Mengapa hal ini terjadi? Mudah diterka jawabannya, karena ketika memberi, seseorang berharap akan ada balasan dari orang yang diberi, atau juga berharap supaya kelihatan oleh orang lain kalau sudah memberi dan diakui keberadaannya.

 

Namun ada juga orang yang suka memberi kepada orang yang sebenarnya tidak perlu meneriman bantuan, karena dari segi ekonomi dan posisi jauh lebih tinggi dari yang memberi. Tentunya pemberian ini juga ada maksud, secara terang-terangan atau terselubung, hal semacam ini bukan sikap memberi, bahkan terkadang menyuburkan sifat tidak terpuji, seperti KKN.

 

Apa manfaatnya memberi kepada orang yang mampu, jika nantinya orang tersebut akan memberikan sesuatu kepada kita lagi?

 

Ibuku pernah berkata “jika kamu memberi dengan tulus, maka kami tidak akan pernah berharap sesuatu dari orang yang menerima pemberian, ibaratnya ketika kita membuang sesuatu di sungai, maka tidak mungkin barang itu kembali lagi”

 

Jadi, jika seseorang ketika memberi diperlihatkan kepada orang lain, atau berharap kepada orang yang diberi, sebenarnya itu bukan memberi tetapi sedang bertransaksi untuk memperoleh keuntungan sendiri. Maka belajarlah untuk memberi dengan tulus, tidak perlu mengharap balas, tidak perlu orang lain tahu, karena Yang Maha Memberi mengetahu isi hatimu ketika memberi dengan tulus.

 

Smoga.

Menjadi Orang Asing.

Seringkali orang tua berpesan kepada anaknya agar tidak mudah bergaul dengan orang asing, karena kita tidak pernah tahu bagaimana perilaku orang asing tersebut yang sebenarnya . Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena seorang anak tentunya tidak bias membedakan secara jernih mengenai kemungkinan bahaya yang akan mengancam jiwanya. Sampai saat ini, pesan tersebut masih sangat relevan dalam kondisi bermasyarakat saat ini yang cukup rawan dengan tindak kejahatan.

 

Seseorang akan merasa nyaman dan aman bila bergaul dengan orang yang sudah dikenalnya, karena bukan orang asing. Jadi agar merasa nyaman dengan lingkungan, maka janganlah menjadi orang asing dilingkungan tersebut.

 

Namun ada kalanya, seseorang akan ”menjadi orang asing” dilingkungannya, bila orang tersebut terlalu memusatkan segala sesuatunya hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan menghiraukan kebutuhan orang lain.

Situasi sepertinini sebenarnya sudah banyak terjadi pada sebagian keluarga diperkotaan. Kesibukan sudah menjadi menu utama sehari-hari bagi setiap anggota keluarga, sehingga sangat sulit untuk dapat berkumpul bersama untuk menjalin kehangatan bagi seluruh anggota keluarga.

 

Menjadi orang asing dirumah sendiri? Pernyataan ini  akan mengejutkan bagi banyak orang, karena hampir setiap orang setuju dengan kata ”home sweet home”. Pada situasi ini, semua anggota keluarga merasa betah dan nyaman dirumah dan seringkali situasi ini menjadi impian banyak orang.

Namun pada kenyataan saat ini sudah banyak terjadi dan dialami oleh salah satu anggota keluarga menjadi orang asing di rumah sendiri.

 

Menjadi orang asing di rumah sendiri, tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui proses yang cukup lama dan karena sudah terbiasa, perubahan ini tidak pernah disadari oleh anggota keluarga tersebut. Kejadian ini lebih banyak terjadi pada kepala keluarga dibandingkan dengan anggota keluarga yang lain.

 

Sebagai penanggung jawab kelangsungan hidup berkeluarga, seorang kepala keluarga akan berusaha keras dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga tidak terasa setiap hari menabung sedikit demi sedikit, kekurangan waktu untuk berkumpul dan berkomunikasi dengan anak istrinya.

Meningkatnya kebutuhan keluarga, juga tuntutan pekerjaan yang semakin berat, akhirnya akan mencurahkan sebagian besar tenaganya untuk urusan kantor dibandingkan dengan urusan keluarga.

 

Berangkat kantor pagi-pagi, dan pulang larut malam, bahkan terkadang pulang pagi hari ditambah lagi sering melakukan perjalanan luar kota.  Dalam kurun waktu yang cukup lama, maka lengkaplah perubahan seorang kepala keluarga menjadi orang asing di rumah sendiri. Tekanan pekerjaan di kantor membuat seorang kepala keluarga bisa menjadi sangat sensitif bila menanggapi sesuatu yang disampaikan oleh anak atau istrinya. Suasana rumah akan berubah total, tidak lagi ada sendau gurau, pelukan hangat dan rasa nyaman.  Semua menjadi serba kaku, dan kalaupun ada waktu bersama di rumah, lebih banyak kepala keluarga menghabiskan waktunya untuk istirahat memulihkan staminanya yang terkuras habis karena tuntutan pekerjaan. Akhirnya keluarga hanya mendapat sisa-sisa waktu yang tidak pernah jelas kapan itu datangnya.

 

Secara fisik, memang hampir setiap hari anggota keluarga akan bertemu ketika pulang ke rumah, komunikasi juga terjadi antar anggota keluarga, namun ada satu hal yang hilang dari komunikasi itu, yaitu komunikasi hanya formalitas belaka, namun tidak tercipta perasaan yang sama dalam mengungkapkan isi hati masing-masing.

 

Dalam kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah ”pengertian” dan ”pengorbanan” dari semua anggota keluarga. Tuntutan berlebihan kepada kepala keluarga akan menambah parah keadaan, namun sebaliknya, kasih dan perhatian serta memaafkan dan koreksi yang disampaikan secara tepat waktu akan sangat bermanfaat untuk mengembalikan sosok orang asing di rumah menjadi, sosok pelindung keluarga yang hangat dan penuh kasih bagi anggota keluarga.

 

Jadi, sebelum terlanjut menjadi orang asing di rumah sendiri, aturlah waktu dengan baik, perlu keseimbangan antara kerja dan keluarga, manfaatkan waktu di rumah untuk bercanda, bercengkerama dan bermanja dalam kehangatan kasih dan perhatian.

 

Bila saat ini tanda-tanda akan menjadi orang asing sudah mulai nampak, buanglah tabungan kekurangan waktu untuk keluarga menjadi  membangun kehangatan keluarga dengan meluangkan waktu untuk keluarga.

 

Semoga !

Monday, January 05, 2009

Gunung Bromo




Kali ini menrupakan kunjungan yang kedua, kunjungan pertama di akhir tahun 2005 setelah pulang dari Bali, langsung Probolinggo, ngadisari dan bermalam di Cemoro Lawang. Wakatu itu kami hanya sempat menyaksikan indahnya matahari terbit.... meski hanya sebentar karena tertutup awan.
Kunjungan kedua ini kami mengambil rute yang beda dari Pasuruan, hingga Wonokitri desa terakhir sebelum lokasi wisata Bromo Tengger.
Perjalan dari Wonokitri cukup menantang karena tikungan dan terjalnya jalan, dan sebagian kiri/ kanan jalan adalah jurang. Namun menurut saya jalanan sangat baik karena sudah dihotmix hingga lokasi Gunung Pananjakan.
Cuaca yang cerah, menggelitik saya dan tertantang untuk turun sekalian di pasir Bromo. Dari Pananjakan harus melalui turunan terjal, dan disarankan agar menggunakan kendaraan 4WD untuk lebih aman. wah... tenan adrenalinku naik!.
Akhirnya bisa melewati turunan dengan selamat dan melanjutkan perjalanan menuju pura di kaki tengger, dengan hati2 agar nggak terjebak di lumpur.
Pulangnya kami naik ke Cemoro Lawang dan melanjutkan perjalanan ke Malang. Pengalaman yang indah.....menikmati indahnya alam Indonesia.