Wednesday, November 30, 2005

Sulitkah meminta maaf?

MAAF


Apabila pembaca sering melihat sinetron Bajaj Bajuri (episode lama) atau salon Oneng akan selalu mendengar kata-kata maaf dalam setiap tayangan. Begitu mudah untuk diucapkan, terasa ringan dan mungkin menjadi latah. Namun bisa juga kata maaf ini muncul dari lubuk hati yang dalam (meskipun hanya dalam sinetron).

Dalam kehidupan sehari-hari, kata “maaf” sulit untuk diucapkan dan sebaliknya juga sulit untuk menerima kata “maaf”. Mungkin hal ini juga dampak dari pola kehidupan yang semakin hedonisme yang lebih mementingkan harta dan benda dibandingkan dengan masalah rohani.

Coba kita amati dalam kehidupan sehari-hari ketika orang banyak berebut jalan untuk mencapai tempat kerja, kantor, sekolah. Semua berebut jalan untuk lebih dahulu, yang semestinya sudah tahu ketika pagi hari memang jalan akan padat. Kondisi ini berpengaruh pada setiap orang, ada yang merespon dengan positif, ada juga yang sebaliknya. Bila tidak ingin macet dan berebut dijalan, tentunya dapat diakali dengan berangkat lebih pagi, namun kenyataan lebih banyak orang berangkat agak siang tetapi ingin sampai lebih cepat.
Respon negative sangat terasa dalam beralalu lintas, banyak orang berbuat salah dengan melanggar aturan lalu lintas, atau berkendara dengan tidak aman, bahkan membahayakan orang lain. Namun ketika diperingatkan oleh orang lain yang muncul adalah sumpah serapah, bukan lagi kata “maaf” meskipun bersalah.

Atau mungkin kita juga sering mendengar, ketika seseorang disakiti atau dirugikan oleh orang lain, sebelum orang yang menyakiti itu minta “maaf” kepada yang bersangkutan, biasanya lebih dulu terucap “ sampai kapanpun saya tidak akan memaafkan sidia!” Begitu arogan, seolah-olah dia yang punya kuasa atas pintu maaf.
Adakah manfaatnya dengan menutup pintu maaf bagi sesama? Seratus prosen tidak akan memberikan manfaat bagi orang tersebut, sebaliknya yang terjadi adalah ganjalan hati yang semakin lama menumpuk dan mengkristal dan akan menyelimuti hatinya dari kejernihan nurani. Kemudian yang muncul adalah kata benci dan mungkin balas dendam. Dunia ini tidak akan tercipta kedamaian bila semua orang sulit untuk menerima maaf.

Mungkin juga dalam kehidupan kerja sehari-hari, adakah atasan yang dengan sepenuh hati menyatakan maaf kepada bawahannya? Mungkin ada tetapi sedikit yang mampu untuk mengucapkan maaf dengan tulus, sebagian besar tidak akan meminta maaf kepada bawahan karena gengsi dan menjaga wibawa dimata bawahan.
Sebenarnya ketika seorang atasan mampu mengucapkan ”maaf” secara pribadi kepada bawahan, respon yang diperoleh akan sangat berbeda karena bawahan akan lebih menghormati bahkan lebih segan kepada atasan bukan rasa takut, karena menyadari bahwa atasan juga layaknya manusia biasa yang memiliki kekurangan.
Jadi kalau anda seorang atasan, cobalah untuk meminta maaf secara pribadi kepada staf anda apabila anda berbuat kesalahan, dan sebaliknya terimalah kata ”maaf” dari bawahan anda secara tulus. Percayalah bahwa hal ini akan dapat merubah suasana di kantor anda.

Tak usah kita mengambil contoh kehidupan yang jauh-jauh, lihatlah dalam keluarga kita. Sudahkan kita mendidik anak untuk berani mengucapkan kata ”maaf” bila bersalah? Semoga sudah, tinggal bagaimana kita sebagai orang tua bisa menerima kata ”maaf” tersebut?
Bagaimana dengan sebaliknya? Sebagai orang tua seringkali lebih banyak mengatur, dan cenderung merasa lebih benar dari pada anak, sehingga tidak ada lagi rasa bersalah kepada anak-anak. Akibatnya adalah kata ”maaf” tidak pernah terucap dari orang tua kepada anaknya, meskipun sebenarnya banyak hal yang mungkin tanpa sadara akan melukai hati anaknya.
Keseimbangan diperlukan supaya hidup ini menjadi lebih indah, lebih damai dan ceria ketika kita mampu untuk mengucapkan kata maaf dengan jujur dan menerima kata maaf dari orang lain, sekalipun itu anak kita yang masih kecil

Coba ingat kegiatan kita hari ini khususnya dalam kehidupan keluarga, apa yang kita ucapkan, apa yang kita lakukan terhadap istri, suami, anak sehingga melukai hatinya. Ketika sore atau malam nanti pulang kerja, sapalah dan peluklah keluargamu juga ucapkan maaf untuknya.

Smoga kita bisa melakukannya.

Syukuran = makan-makan ?

Ketika seseorang mendapatkan “sesuatu keberhasilan”, biasanya ia akan mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Keberhasilan itu bisa dalam bentuk lulus ujian, kenaikan kelas, kenaikan pangkat, memperoleh jabatan baru, pindah rumah baru atau mungkin mutasi ke tempat yang diinginkan. Terhadap semua hal tersebut memang sudah sepatutnya kita mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Namun meskipun anda sudah mengucap syukur atas keberhasilan tersebut, biasanya rekan-rekan anda akan menagih kapan syukurannya?
Dalam bahasa pertemanan, istilah syukuran ini lebih banyak diartikan dengan ”kapan kita makan-makan” untuk merayakan keberhasilan tersebut. Berkumpul bersama dengan rekan-rekan, kemudian ada sedikit sambutan, ceramah atau apapun bentuknya terus dilanjutkan dengan acara pokok yaitu makan-makan.

Acara seperti ini sudah menjadi trend atau kewajiban yang tidak tertulis bahwa setiap orang yang memperoleh statu keberhasilan maka wajib untuk mengundang rekan-rekan, untuk ngumpul, ngobrol dan akhirnya makan-makan.

Adakah sesuatu yang salah dengan hal ini? Jelas bahwa acara syukuran ini tidak salah, bahkan lebih banyak manfaat yang bisa diperoleh bagi orang yang mengundang maupun yang diundang. Ada silaturahmi, ada canda, ada tawa dan mungkin juga akan mengingatkan kembali pada masa-masa lalu tentang pengalaman lucu sewaktu masih muda.
Namun kadang kala, acara syukuran ini juga bisa dilakukan di cafe atau tempat pertemuan lainnya yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang diharapkan. Datang, say hello, ngrumpi, makan & minum terus ngobrol sampai malam, terus pulang...... selesai.

Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk acara seperti ini? Biaya yang timbul sangat bervariasi mulai dari yang paling sederhana dalam jumlah puluhan ribu rupiah, atau ratusan ribu rupiah bahkan mungkin jutaan rupiah. Tapi yang jelas, meskipun harus mengeluarkan sejumlah uang yang besar, tentu tidak menjadi masalah bagi orang yang mendapat keberhasilan, karena secara financial jelas berkecukupan.

Lalu apa yang salah dengan syukuran, kalau memang hal ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada umumnya?

Model syukuran yang selama ini banyak dilakukan adalah dengan cara-cara seperti di atas, dan sebenarnya hasil akhirnya sama saja….., datang, ngobrol, makan, pulang dan semua yang dimakan akhirnya (mohon maaf) dibuang di toilet. Selesailah sudah.

Sebenarnya masih banyak cara lain untuk ”syukuran”, dan mungkin akan banyak manfaat yang dapat diperoleh bagi orang yang syukuran maupun pihak lain yang terlibat, baik manfaat jangka pendek maupun jangka panjang.

Mungkin anda masih ingat, kejadian tragis yang sebenarnya tidak perlu terjadi terhadap seorang anak yang malu tidak dapat membayar uang sekolah bulanan (yang besarnya lebih kecil dari satu kali makan siang anda?) berupaya untuk bunuh diri karena malu tidak bisa membayar?
Kejadian ini sebenarnya hanya merupakan puncak gunung es di lautan, yang sangat kecil kelihatannya, namun permasalahan yang sangat besar belum terungkap.
Masih banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam serba kekurangan, sehingga lebih baik mengorbankan bangku sekolah untuk dapat membantu orang tua dalam mencari penghasilan. Selain itu masih banyak anak-anak dipanti asuhan yang memerlukan bantuan untuk bisa sekolah.

Bayangkan bila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang panjang, maka kita akan kehilangan calon penerus bangsa yang tidak dibekali pendidikan yang cukup.Tentu anda juga tergerak untuk dapat membantu sebagian kecil dari mereka, agar dapat meneruskan sekolahnya.
Salahsatu cara untuk ikut membantu mereka adalah, merubah model syukuran kita yang semula kita mengeluarkan uang dalam jumlah banyak hanya untuk makan-makan, marilah kita salurkan untuk bantuan pendidikan bagi yatim piatu, anak-anak tak mampu.
Apabila semua diantara kita mengubah model syukuran dengan cara ini, maka akan banyak anak-anak yang akan memperoleh pendidikan.
Smoga!

Jalan Hidup

JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN


Sewaktu kita masih kecil, dan lingkungan kita belum penuh sesak dengan rumah-rumah seperti saat ini, permainan petak umpet menjadi salah satu permainan yang cukup menyenangkan.
Seseorang akan menjadi penjaga yang akan mencari teman permainan yang lain, yang bersembunyi dirimbunnya pagar tanaman, atau taman, atau halaman rumah lainnya. Bila permainan dilakukan pada sore atau siang hari tentu akan memudahkan penjaga untuk mengetahui dimana temannya bersembunyi. Sebaliknya bila permainan dilakukan dimalam hari, akan menyulitkan penjaga untuk mencari teman yang bersembunyi dikegelapan malam, karena tidak akan mudah mencari jejak temannya.

Juga pada saat kita masih mengikuti kegiatan pramuka, saat menjadi siaga atau penggalang, salah satu kegiatan yang dilakukan dialam terbuka dan sangat diharapkan oleh setiap anak adalah kegiatan mencari jejak. Kegiatan ini memberikan banyak manfaat bagi peserta, karena akan dapat melatih kekuatan tubuh, kecerdikan dan ketelitian untuk dapat mencapai tujuan akhir dengan memperhatikan tanda atau jejak yang dipasang oleh Pembina.
Ketika kita teliti dan mengikuti petunjuk, maka dapat dipastikan satu regu akan dapat mencapai tujuan akhir dengan selamat. Sebaliknya bila tidak memperhatikan bahkan mengabaikan jejak atau tanda maka dipastikan dapat tersesat. Penulis pernah mengalami hal ini ketika masih SMP, saat melakukan perkemahan di satu desa kecil dan rute mencari jejaknya melewati jalan-jalan setapak dan menewati hutan kecil. Karena terlalu sembrono dan tidak memperhatikan jejak atau tanda, regu kami berangkat nomor satu dan kembali ke arena perkemahan sebagai regu terakhir pada sore hari karena tersesat.
Masih beruntung karena kegiatan ini dilakukan pada siang hari karena masih bisa melihat jalan dan bertanya kepada penduduk, seandainya kegiatan ini dilakukan pada malam hari..... tentu akan sangat merepotkan para pembina.
Penyebab tersesat adalah hal yang sepele yaitu : tidak memperhatikan dan mengikuti jejak atau tanda yang telah dipasang oleh pembina.

Pernahkan anda berjalan menyusuri pantai yang landai dan berpasir, perhatikan ketika anda berjalan ditepian pantai, setiap langkah yang diayunkan akan meninggalkan jejak langkah di atas pasir. Namun ketika ada gelombang kecil menuju tepi pantai, maka jejak langkah tersebut akan hilang tersapu gelombang.
Cobalah perhatikan ketika dua orang berjalan berurutan di tepi pantai yang berpasir, seorang berjalan didepan dan yang lain mengikuti dari belakang. Ketika jarak orang yang berjalan didepan dengan yang dibelakang berdekatan, maka dengan mudahnya orang yang dibelakang melihat dan berjalan mengikuti jejak langkah yang ditinggalkan oleh orang yang didepan. Bahkan ketika gelombang kecil datang sekalipun, yang dibelakang akan dapat mengikuti orang yang didepannya.
Namun sebaliknya ketika jarak antara orang yang didepan dan dibelakang sangat jauh, tentu akan sulit untuk dapat melihat jejak langkah yang ditinggalkan oleh orang yang didepan karena jejak tersebut sudah hilang tersapu gelombang kecil.

Demikian pula dengan kehidupan kita sebagai manusia yang lemah dan penuh dengan kekurangan. Sebenarnya lah setiap orang memiliki jejak langkah sendiri-sendiri, dan arah tujuannya sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dengan mengambil pelajaran dari permainan petak umpet, mencari jejak dan berjalan ditepi pantai yang berpasir, bisa dianalogikan dengan kehidupan kita.
Apabila kita selalu berjalan dalam terang, maka kita akan dapat mengetahui kearahmana kita akan berjalan, lihatlah tanda atau perintah dari Yang Maha Kuasa, karena setiap tanda yang diberikanNya selalu membawa kebaikan buat manusia.
Apabila kita jauh dari Yang Maha Kuasa, maka ketika gelombang menghadang didepan, langkah akan terhenti dan tak mampu lagi untuk bertahan.
Namun apabila selalu dekat dengan Yang Maha Kuasa, maka ada kepastian hidup yang damai dan sejahtera, meskipun badai dan gelombang kehidupan akan menerpa kita, langkah kita akan tetap tegak dan pasti karena ada pengharapan dan kekuatan dari Yang Maha Kuasa.
Smoga!

Masih adakah.....

SALING SETIA DAN PERCAYA

Masih ingatkah ketika pertama kali bertemu dengan bekas pacar, yang sekarang mendampingi hidup anda?
Masih seringkah kita mengingat masa-masa perjuangan untuk mendapatkan dia?
Masih seringkah kita bercerita dengan pasangan mengenai masa-masa pacaran?
Betapa semua itu terasa indahnya ketika kita jatuh cinta, semua yang ada hanya rasa ceria, kangen dan rindu yang menderu bila tidak pernah bertemu.

Setelah mengucap janji dan sepakat untuk hidup berbagi suka dan duka, mulailah kita mengetahui betapa banyak kekurangan masing-masing pihak. Semakin meneliti kekurangan pasangan kita, maka semakin panjang daftar kekurangan dan kesalahan yang dibuat oleh pasangan kita.
Perubahan secara fisikpun terjadi dengan pasti, yang semulai semampai, kini sejalan dengan bertambahnya usia semakin subur bahkan cenderung ”SETULEGI” (Setengah Tuwo Lemu Ginak-ginuk).
Terlebih lagi dengan beban berat mengurus anak yang semakin besar dan pasangan yang ”semakin” berani (karena secara finansial jelas semakin mapan) secara perlahan dan pasti sangat kurang waktu untuk mengurus diri. Demikian juga dengan suami yang dulunya tegap gagah dan tegap, mulai melarrr dan sama menjadi SETULEGI juga.
Sementara sang suami sibuk dengan urusan kantor dengan lembur dan meeting serta barangkali juga ”mithing” lainnya (memeluk leher erat2 dengan dua tangan), sang istri tidak lagi merasakan keindahan seperti pada masa pacaran.

Sebaliknya ketika diawal pernikahan sudah memahami bahwa konsekuensi menjadi pasangan adalah ”menerima segala kelebihan dan kekurangan” masing-masing, akan sadar bahwa pernikahan itu dapat diibaratkan menyatukan dua buah meja, agar menjadi meja yang sempurna, maka masing-masing harus merelakan untuk berkorban dengan merelakan dua kakinya dihilangkan.
Kekurangan yang tidak pernah dilihat semasa pacaran, akan jelas terjadi karena setiap hari selalu bersama, namun bila dilandasi rasa setia, masing-masing akan berpandangan bahwa satu sama lain akan selalu menyempurnakan. Kelebihan yang satu akan menutup kekurangan yang lain dan sebaliknya.
Ingatlah ketika kita harus merangkak dari bawah, dalam membangun keluarga, betapa pasangan kita selalu setia menemani ketika kita harus menanggung beratnya beban hidup.
Kesetiaan pasangan selalu diiringi dengan rasa percaya kepada pasangannya. Ketika masih pacaran dan belum memahami sepenuhnya terhadap pasangan, sudah dilandasi rasa percaya untuk mempertaruhkan masa depannya dengan pasangan pilihan. Terlebih lagi setelah menikah dan bersama mengarungi badai kehidupan rasa percaya itu akan tumbuh subur.

Kemanapun, kapanpun pasangannya pergi untuk melakukan tugasnya, bahkan keluar kota sekalipun, sang istri tidak akan merasa ”was-was” mengenai suaminya. Karena ia sangat yakin, kesetiaan dan kepercayaannya tidak akan pernah sia-sia.
Juga sebaliknya sang suami akan selalu merasa tenang dalam melakukan tugasnya karena tiada rasa curiga, akan memegang kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pasangannya.
Ada kendali dan kontrol dalam hati nuraninya meskipun jauh dari istri ia akan selalu setia dan percaya dengan pasangannya.

Cobalah ingat kembali, masa-masa indah sewaktu pacaran, cita dan impian bersama untuk memupuk kembali rasa setia dan percaya.
Luangkan waktu berdua untuk mengulangi kenangan indah semasa pacaran, dengan melakukan hal-hal kecil atau yang membuat kita bisa tertawa.
Selalu berpikiran positif terhadap pasangan kita, karena kesetiaan dan kepercayaan dia yang mampu mendorong kita menjadi seperti sekarang ini.

Bersyukurlah pada Yang Maha Kuasa, karena anda telah mendapat pasangan yang terbaik, yang selalu setia dan percaya.
Smoga.

Lebih mudah berbicara dari pada mendengar

SULIT UNTUK “MENDENGARKAN”

Pernahkan anda perhatikan, kebanyakan orang lebih senang berbicara dari pada mendengarkan. Dengan mudahnya bercerita sesuatu dari ”a” sampai ”Z”, dan bagi yang mendengarkan juga tak kalah antusiasnya untuk menimpali atau beralih menjadi pembicara.

Memang kalau dirasakan, posisi sebagai orang yang mendengarkan terasa sulit karena harus lebih banyak bersikap ”menerima informasi”, dan harus dapat memahami apa sebenarnya yang menjadi titik pokok pembicaraan sehingga terjalin komunikasi yang efektif.
Biasanya seseorang yang mampu mendengarkan dengan baik, juga menjadi pembicara yang baik, karena dia memahami, dengan siapa dia berbicara, gaya dan penyampaian apa yang cocok, serta pokok pokok apa yang paling tepat dibicarakan.

Harus kita akui, sangat sulit untuk menjadi pendengar yang baik dan sekaligus menjadi pembicara yang baik.

Ada beberapa hal yang sangat mengganggu ketika harus menjadi pendengar, karena proses mendengarkan menjadi tidak efektif apabila :

1. Seperti air yang mengalir dari satu pipa ke pipa lain tanpa ada yang tersisa.
Kejadian seperti ini sering kali dirasakan, ketika si pendengar sudah bersikap apriori terhadap pembicara, atau memang tidak menginginkan untuk mendengar sehingga apapun informasi yang disampaikan tidak akan ada yang tersisa dibenaknya.

2. Seperti seseorang yang memegang saringan tepat dibawah pipa yang yang mengalirkan air.
Selama pembicaraan itu berlangsung, sipendengar hanya akan dapat menerima informasi yang dibutuhkan, seperti layaknya saringan selama informasi berguna akan diterima. Sebaliknya bila tidak berguna baginya meskipun berguna bagi orang banyak tetapi dia tidak suka, informasi tersebut tidak akan diterima.

3. Selalu menilai siapa yang bicara
Perhatikan, ketika ada suatu ceramah, biasanya akan ditanya terlebih dahulu, siapa yang akan jadi pembicaranya? Cenderung menilai ”sipembicara” bukan pada apa yang dibicarakan atau isi pembicaraan. Terlebih lagi apabila pendengar sudah memiliki persepsi yang buruk pada pembicara, akan mengakibatkan sebaik apapun isinya, niscaya tidak akan didengarkan.

4. Tidak konsentrasi pada saat mendengarkan
Coba anda perhatikan, ketika anda sedang lapor kepada boss anda, apakah dia menghentikan aktivitasnya ketika anda bicara atau menyuruh anda bicara sambil mengerjakan aktivitas lainnya?
Atau mungkin anda sebagai seorang boss, terlalu sibuk dengan tugas sehingga ketika bawahan anda berbicara anda tetap melakukan aktivitas lain?

5. Sering memotong pembicaraan.
Ketika seseorang merasa lebih tahu, dan kurang memiliki rasa toleransi yang tinggi, biasanya akan sering memotong pembicaraan orang lain karena apa yang akan disampaikan dia merasa sudah memahami. Hal ini juga dapat berakibat fatal karena tidak sepenuhnya orang akan mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam pikiran orang yang sedang berbicara.

Apabila hal-hal tersebut masih terjadi pada diri kita, akan sangat merugikan kita sendiri, terlebih lagi dalam kehidupan keluarga. Seorang ayah biasanya ”merasa serba tahu” sehingga ketika istri atau anak akan bicara cenderung ragu atau bahkan malas karena sebelum keinginannya disampaikan, yang terjadi sebaliknya harus mendengarkan ”petuah” yang sebenarnya salah sasaran.
Mungkin juga keengganan anak kita berbicara secara terbuka, lebih disebabkan karena ”keangkuhan” orang tua yang merasa lebih berpengalaman, yang sebenarnya pemahamannya sudah ketinggalan jaman.

Atau mungkin di tempat kerja, informasi yang lengkap belum diperoleh tapi keburu mengambil kesimpulan, karena atasan merasa serba tahu.

Marilah kita coba untuk menjadi pendengar yang baik, meskipun sulit untuk melakukannya, dengan cara : menghormati orang yang berbicara, dengarkan dengan empati dan jangan berpersepsi terlebih dahulu, serta biarkan pembicara menyelesaikan pokok pikiran yang disampaikan dengan tidak memotong pembicaraan. Karena apabila kita bisa melakukan hal itu maka orang akan lebih senang berbicara dengan kita.
Semoga !

Bandung, 17 Mei 2005

Liburan mahal ?

LIBURAN

Apa yang terlintas dalam pikiran anda, ketika mendengar kata liburan?
Mungkin tujuan liburan, bisa di dalam negeri atau diluar negeri.
Mungkin kapan liburan itu akan dilaksanakan, bisa ketika anak sekolah pas liburan atau mungkin saat waktunya mudik lebaran.
Mungkin juga mulai merancang rute perjalanan.
Mungkin juga mengajak saudara atau teman
Mungkin juga memilih jenis liburan
Dan yang tidak pernah tertinggal adalah...biaya untuk liburan.

Bagi orang yang secara financial sudah mapan dan berlebihan, biaya tidak menjadi soal, namun waktu bisa menjadi kendala.
Sebaliknya jika kondisi ekonomi pas-pasan, mungkin biaya juga waktu bisa menjadi masalah.
Jika kondisi ekonomi bermasalah, jangankan berpikir untuk liburan, yang penting adalah memenuhi kebutuhan hidupnya.

Seringkali kita mendengar, orang berlibur di eropa, atau amerika atau australia, atau afrika atau asia. Dengan bangga menceritakan keindahan dan segala kelebihan dari tempat wisata.
Itu memang menjadi hak mereka, karena mereka mampu untuk itu.
Lha... payahnya kalau semua orang yang kaya berlibur keluar negri semua, apa dampaknya bagi negeri tercinta ini?
Yang jelas.... ada pemasukan dari fiskal, tapi terlebih dari itu banyak uang yang dibelanjakan di luar negeri, yang secara ekonomi tidak berdampak positif bagi ekonomi dalam negeri.
Mungkin sudah banyak orang yang melanglangbuana sampai ujung dunia, namun belum pernah mengunjungi wisata didaerah, dengan berbagai alasan pelayanan jelek, fasilitas jelek.
Namun ironisnya, ternyata banyak juga turis asing yang datang ke wisata daerah tersebut.

Memang untuk dapat liburan perlu ada pengorbanan, baik waktu, tenaga maupun uang. Semuanya sangat tergantung dari bagaimana dan jenis liburan apa yang akan dilakukan.
Sangat mahal dan memerlukan waktu serta stamina yang bagus ketika harus berlibur diluar negeri dengan tujuan yang jauh dan cuaca yang sangat berbeda dengan di negeri kita.
Namun bisa juga murah meriah dan menyehatkan ketika kita bisa berlibur dengan hanya berjalan kaki atau sepeda atau kendaraan umu dan membawa bekal, dengan tujuan fasilitas umum yang mudah dijangkau.

Jika ingin yang lebih jauh, sebaiknya direncanakan lebih dahulu, rute perjalanan, berapa biaya dan berbagai macam persiapan untuk liburan tersebut.
Bila dirasakan memerlukan biaya yang cukup besar, tentunya dapat disiasati dengan cara menyisihkan secara khusus untuk liburan, dan mengajak anak-anak untuk ikut mempersiapkan dengan cara menabung dari sisa uang jajan.

Atau mungkin bisa mengalokasikan waktu tambahan bila ada bertepatan dengan event lain misalnya pada saat mudik lebaran ke, sehingga bisa mengurangi biaya liburan.

Anak-anak di kota, tidak pernah lagi merasa nikmatnya mandi di sungai, karena sungai di kota sudah terpolusi dan tidak mungkin untuk mandi. Ajaklah mereka untuk bermain disungai, tentu akan ada sensasi tersendiri bagi mereka.

Anak-anak tidak pernah bermain di lumpur, karena di kota semua halaman sudah dibeton, dan jalan-jalan sudah diaspal, lumpur sudah hilang. Ajaklah mereka bermain disawah, untuk dapat merasakan lumpur yang lembut dan berlari di pematang sawah.
Ada rasa menyatu dengan alam, dan belajar dengan alam dan mungkin akan dapat menghargai jerih payah petani untuk menanam padi yang akhirnya dalam bentuk nasi yang dikonsumsi.

Liburan akan bertambah indah, bila semua anggota bisa menikmati tanpa gangguan, misalnya gangguan telepon dari kantor karena masalah kerjaan, atau mungkin karena tugas yang belum dikumpulkan. Itulah sebabnya, liburan harus dipersiapkan dengan baik agar kita benar-benar dapat menikmatinya.

Terpuruknya pariwisata Indonesia karena berbagai hal seperti bencana, teroris, masalah kesehatan, tidak akan pulih kembali tanpa adanya kontribusi dari kita semua.
Bila kita mampu menginventarisir seluruh tujuan wisata dalam negeri, dari Sabang sampai Merauke, mungkin bila setiap tahun dilakukan untuk tujuan yang berbeda akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Ada multiplier effect secara ekonomi dari kegiatan wisata ini, dan tidak banyak devisa yang dihambur-hamburkan ke luar negeri.
Jadi.... mari kita rancang liburan dalam negeri, lupakan rutinitas, menyatu dengan alam, memupuk kehangatan cinta kasih keluarga dan membangun ekonomi yang mandiri.

Tuesday, November 29, 2005

Belum ke Jogya kalau belum lihat Ramayana

Indahnya Sendratari Ramayana di bulan Purnama

Hampir setiap orang yang berwisata ke Yogyakarta selalu mengunjungi, Malioboro, Keraton, Candi Borobudur, Candi prambanan dan berbagai tujuan wisata pantai yang membentang dari pantai Congot diujung barat DIY sampai Pantai Sadang di ujung timur DIY, ataupun wisata alamnya.

Berulang kali kami ke Yogya, namun berulang kali pula menapakkan kaki pada rute yang sama Malioboro, Keraton, Candi, Pantai dan hampir tidak pernah terlintas untuk menyaksikan pentas sendratari Ramayana. Semula kami enggan untuk menawarkan event ini kepada anak-anak, karena rasanya nggak gaul kalau menikmati liburan dengan melihat sendratari.

Ternyata dugaan kami salah besar !
Ketika kami memasukkan agenda nonton sendratari, anak-anak sangat antusias untuk menyaksikan sendratari tersebut.
Kebetulan, ketika kami berada di Yogya bertepatan dengan bulan purnama dan ada pertunjukan sendratari Ramayana di Panggung Terbuka Komplek Candi Prambanan.
Betapa mereka penasaran ketika malam hari mulai memasuki arena pertunjukan, panggung yang sangat luas, dan tempat duduk dari batu.
Kami sudah memesan tempat duduk tepat ditengah-tengah, dan memperoleh busa untuk alas duduk.
Dari posisi tersebut, sebelum pertunjukan dimulai, kami dapat menyaksikan pemandangan yang indah yaitu semburat cahaya yang menyinari candi Prambanan.

Sambil menunggu dimulainya pertunjukan, kami ceritakan secara singkat mengenai jalan cerita Ramayana, anak-anak semakin penasaran, karena memang selama ini tidak pernah mengetahui atau membaca komik tentang wayang.

Ketika pertunjukan dimulai, dan.... sepanjang pertunjukan, anak-anak minta untuk diterangkan isi cerita dari episode-episode yang ditampilkan. Mereka sangat menikmati pertunjukan sendratari Ramayana, meskipun dengan terkantuk-kantuk karena sudah capai akibat kegiatan sepanjang hari.
Sibungsu ternyata tertidur diakhir acara, sehingga tidak sempat melihat para pemain yang tampil bersama dan mendekat kepada penonton untuk diambil gambarnya.

Itulah sekilas pengalaman pertama bagi anak kami menikmati sendratari Ramayana pada akhir Juni tahun 2000.

Ketika kami mudik Lebaran di tahun 2004, anak-anak kembali meminta untuk melihat pertunjukan sendratari Ramayana. Untuk kali ini pasukan bertambah lagi menjadi dua keluarga. Semua tertarik setelah mendengar cerita pengalaman kami masa lalu.

Singkat cerita, mereka sangat puas melihat pertunjukan sendratari Ramayana, terlebih lagi ketika dapat foto bersama dengan seluruh para pemain.
Dan..... ternyata merka masih menginginnkan untuk menyaksikan lagi sendratari Ramayana apabila berlibur di Yogya.

Bila anda sekeluarga belum pernah menyaksikan sendratari Ramayana... kami sangat menyarankan agar dapat meluangkan waktu dari pukul 19.00 s/d 22.00 di panggung terbuka Candi Prambanan.

Sangat menakjubkan !

Monday, November 28, 2005

KRITIK ITU INDAH BILA…..


Ketika masa pemerintahan pak SBY belum genap 100 hari, hampir setiap hari di media massa menulis atau mengulas tentang kinerja pemerintah, dengan nada minor! Para ahli ngomong tentang bidangnya, bahwa pemerintah dinilai gagal dengan program2nya. Bolehkah hal ini dianggap sebagai kritik?

Atau mungkin ketika seseorang memperoleh kepercayaan atau tanggung jawab yang lebih besar. Dalam kurun waktu yang belum lama, sudah muncul komentar tentang ketidak berhasilannya, sehingga dianggap orang tersebut tidak becus, tidak mampu atau kurang ini, kurang itu.
Bolehkah hal ini dianggap sebagai kritik?

Memang, bahwa setiap manusia tidak sempurna, karena banyak kekurangan yang dimilikinya. Kekurangan tersebut terkadang dipahami dan dimengerti oleh masing-masing pribadi, tetapi terkadang orang lain yang lebih tahu tentang kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.

Berbagai tanggapan yang muncul bagi penerima kritik, mulai dari mengucap terima kasih atas kritik yang diterimanya, atau cuek bebek atas kritik yang ditujukan atau mungkin sumpah serapah yang keluar ketika kritik itu dirasakan menyakitkan hatinya.

Disisi lain kritik itu muncul oleh orang yang merasa tidak puas akan keadaan ini dan lebih dari itu ada perasaan iri atas keberhasilan orang lain, sehingga kritikan yang muncul lebih tendensius, memojokkan sehingga dapat menimbulkan opini yang negative bagi penerima kritik.
Atau mungkin adanya sifat “suka asal ngomong”, serasa mulutnya gatal kalau tidak mengkritik orang, hal ini tentunya tidak akan membawa kebaikan bagi kedua belah pihak.

Namun bukan suatu hal yang mustahil, munculnya suatu kritik itu dilandasi dengan rasa kasih kepada sesama, rasa sedih karena terjadinya “sesuatu” yang akan berdampak negative bagi rekan ataupun kita semua. Dengan didorong rasa inilah, biasanya kritik itu akan sangat berguna bagi penerima maupun pengkritik, akan saling menguatkan akan saling membangun demi kebaikan semuanya.

Pada awalnya, ketika kritik itu disampaikan akan membuat penerima kritik kaget, sedikit terusik dan tidak nyaman. Tetapi ketika kritik itu dilandasi rasa kasih, data yang akurat dan mengarah pada hal yang positif dan disampaikan pada waktu serta tempat yang tepat, maka akan membuat nyaman bagi penerima kritik.

Mungkin dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalami hal tersebut, baik ditempat kerja, di masyarakat maupun dikeluarga.
Kadang kita mengkritik seseorang, dilain kesempatan kita dikritik oleh orang lain. Merupakan hal yang biasa dalam berinteraksi dengan orang lain.

Marilah kita mulai dari diri kita sendiri, untuk memandang suatu persoalan pada sudut pandang yang benar, obyektif dan dilandasi rasa kasih sehingga ketika kita mengkritik seseorang, maka yang terucap adalah kritik yang mampu meningkatkan kebaikan bagi semua orang.

Sebaliknya ketika menerima kritik, berpandangan positif saja kepada orang yang mengkritik, siapapun orangnya karena mungkin kritik tersebut memang benar dan bermanfaat bagi kebaikan kita. Smoga!


Bandung, 12 Mei 2005
CEMAS AKAN HARI ESOK


Ada pepatah di masyarakat Jawa “Wong urip iku nggowo rejekine dewe-dewe” terjemahan secara umumnya adalah bahwa setiap orang memiliki rejekinya masing-masing.
Sehingga sering juga terdengar istilah “narimo ing pandum”, istilahnya pasrah akan apa yang diterimanya.
Namun dengan berjalannya waktu, dimana pola kehidupan sudah sangat berubah, pepatah tersebut semakin tidak terdengar lagi. Lebih banyak keluh kesah yang muncul dibandingkan ucapan syukur.

Sangatlah wajar, dengan pola kehidupan yang serba cepat, serba instant dan menurunnya nilai-nilai kehidupan yang hakiki, membuat banyak orang berlomba dan berebut rejeki dengan berbagai cara, bahkan menghalalkan semua cara. Seakan lupa bahwa rejeki untuk tiap orang sudah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kasih.

Kondisi seperti ini sangatlah nyata dalam kehidupan masyarakat kota, yang didalamnya berbaur semua manusia dengan latar belakang yang sangat berbeda, namun mereka menghadapi satu kenyataan yang sama, yaitu ketidak pastian akan masa depan.
Issue rasionalisasi, PHK massal, keterbatasan lapangan kerja, inflasi dan meningkatnya biaya hidup akan semakin menghimpit setiap orang, belum lagi kekerasan, manipulasi dan korupsi seakan menjadi lengkaplah penderitaan manusia.

Bila hal ini juga menjadi pemikiran kita sehari-hari, maka yang muncul adalah rasa cemas dalam menghadapi hari esok. Cobalah untuk keluar dari rutinitas, luangkan waktu sejenak untuk terbebas dari lingkaran tersebut.

Lihatlah alam disekitar kita. Begitu sempurna kehidupan semesta, sinar matahari yang menyinari orang yang benar juga orang yang salah, hujan yang jatuh menetes kebumi untuk menyejukkan orang yang benar dan orang yang salah. Semua orang mendapatkan rahmatNya.

Tengoklah dan amati pada sekuntum bunga liar yang terhimpit dalam semak belukar, seakan menyesakkan dan menyedihkan, tapi bunga itu tetap tumbuh dan mekar dengan indahnya tanpa mencemaskan hidupnya.

Atau lihatlah irama terbang burung pipit yang kecil dan lemah ketika bersyukur menyambut datangnya petang.
Serta kicauan dipagi hari menyambut mentari yang menghangatkan dan memberi tahu datangnya harapan baru untuk menikmati rejeki, seolah nyanyian suci memudji Sang Penciptanya.
Burung yang kecil dan lemah, tidak pernah menaman, tapi Tuhan selalu menyediakan makanan untuknya.

Haruskah kita mencemaskan hari esok?
Bagaimana rejeki kita? Karir? Keluarga? Atau apapun yang menjadi keinginan kita dan cita-cita kita?
Serahkanlah segala kecemasan kita pada Dia Yang Maha Kasih, dan mohon ampun atas salah dan dosa kita yang sering mengandalkan kemampuan sendiri.

Belajarlah pada bunga liar dan burung pipit, yang selalu bersyukur dan berpengharapan kepada Sang Pencipta.

Ucapkan syukur dalam kehidupan sehari-hari, dan menaruh harapan pada Sang Pencipta akan membuat hidup ini tenang, damai dan tenteram tanpa diliputi kecemasan.


Bandung, 9 Mei 2005



PURWADI SISWANA
DEKAT SUMBER HIDUP


Ibarat sebuah pohon yang berasal dari biji kecil, secara perlahan dan pasti akan tumbuh dan berkembang. Akar akan terus tumbuh dan menancap kuat di bumi, sementara dahan dan ranting tumbuh menjulang tinggi menggapai langit.

Ketika pohon tersebut masih kecil, akan selalu terlindungi oleh pohon disekitarnya yang lebih tinggi, baik dari panas matahari, hujan dan angin besar yang mampu merobohkan. Semuanya aman dan nyaman.

Namun ketika sudah tumbuh besar melebihi tinggi pohon disekitarnya, maka terpaan panas, angin, hujan bahkan badai akan dihadapi sendiri. Semakin hari semakin kencang terpaan angin maka pohon tersebut akan memperoleh “pelajaran” untuk tetap tumbuh dan berkembang dengan segala konsekuensi yang dihadapi.

Semakin kuat akar menancap dan mampu menyerap sari-sari makanan, maka pohon akan tetap tumbuh kuat dan terpaan angina, hujan, panas merupakan bagian sehari-hari yang harus dihadapi. Semakin tinggi semakin banyak goncangan, namun pohon tidak akan tumbang bahkan kan tumbuh dengan baik.

Demikian juga dengan kita, tiada tempat yang aman dan nyaman kecuali dalam dekapan ibunda. Mulai merangkak, tertatih-tatih berjalan, terus bisa lari. Semula aman dan nyaman bila dekat dengan ibunda.
Seiring dengan perjalanan waktu, kita tumbuh dan berkembang, mulai mengerti dan memahami akan angin kehidupan, panas dan ganasnya badai kehidupan.

Semakin dewasa maka cobaan, tantangan, hambatan semakin banyak yang harus kita hadapi. Bukan lagi belaian angin semilir tapi topan dan badai menerpa kehidupan kita. Semakin tinggi tanggungjawab yang harus dipikul, maka semakin besar pula angin, hujan dan panas yang akan menimpa kita.

Banyak pohon yang tinggi dan mudah roboh ketika diterpa angin yang cukup kencang, karena ternyata akar tunjangnya tidak tumbuh secara sempurna sehingga tidak memiliki daya cengkeram yang kuat. Mungkin juga karena tumbuhnya di tanah yang kering, gersang dan tandus, sehingga kebutuhan untuk memperoleh sari makanan tidak mencukupi. Akhirnya akarpun tidak tumbuh dengan sempurna.


Lihatlah disekeliling kita, dan perhatikan pohon beringin yang besar, yang mampu memberikan keteduhan biasanya hidup dekat sumber mata air. Atau lihatlah pohon-pohon yang besar, biasanya hidup dekat dengan sungai yang mengalir.
Diwaktu kekeringan melanda, pohon tersebut tetap memperoleh sumber makanan yang berlimpah. Akar tumbuh dengan sempurna, dahan dan ranting berkembang sehat, daun hijau segar dan berbuah lebat pada musimnya.

Bagaimana dengan kita, apakah dekat dengan sumber hidup kita?
Sebesar apapun kita, sekuat apapun kita, pasti akan tumbang! Dalam menghadapi tantangan, cobaan dan badai kehidupan! Apalah manusia kalau hanya mengandalkan dirinya sendiri?

Belajarlah pada pohon beringin yang selalu dekat dengan mata air, atau pohon yang besar yang hidupnya dekat dengan sungai yang mengalir.

Kekuatan kita bukan pada fisik, bukan pada kepandaian, bukan pada kekayaan bukan pula pada jabatan. Tapi kekuatan kita selalu ada ketika kita lemah dan meminta kekuatan pada Sumber Hidup kita.
Ketika menghadapi cobaan, Sumber Hidup akan menguatkan kita, dan ketika berhasil ingatlah bahwa buah keberhasilan karena Sumber Hidup bukan hasil kita.

Semoga senantiasa kita dekat dengan Sumber Hidup.



Bandung, 6 Mei 2005



PURWADI SISWANA
ADAKAH WAKTU UNTUK KELUARGAMU ?


Ritme kehidupan seseorang, dicerminkan dengan pola kehidupan sehari-hari. Mulai pagi hari hingga malam hari, berbagai aktivitas yang dilakukan mulai dari keperluan pribadi, dinas, keluarga, teman dan saudara.
Berapa jam waktu kita habis untuk mengerjakan tugas kita? Berangkat pagi pukul 06.30 pulang larut malam pukul 21.00 bahkan sampai pagi dikantor, belum lagi ada tugas lembur di hari Sabtu terkadang Minggu untuk menyelesaikan pekerjaan karena harus siap tayang hari Senin.
Satu minggu ? Atau hal ini berlangsung atau satu bulan ?
Atau setengah tahun ? atau satu tahun ? tapi lebih banyak orang yang mengalami hal ini bertahun-tahun.

Apa yang diperoleh dengan menghabiskan waktu selama masa kerja sebanyak ini ? Uang, Jabatan atau karir yang terus meningkat ? Jawabannya 100% Ya !
Banyak orang menjadi SIBUK untuk mengejar hal-hal tersebut, sehingga waktu yang diberikan Tuhan selama 24 jam terasa kurang.

Ketika anak2 berangkat sekolah pagi hari, orang tua masih tidur lelap karena pulang tengah malam. Sebaliknya ketika pulang anak2 sudah lelap tidur dengan 1001 mimpi yang indah.
Rumah hanya menjadi tempat penginapan, tidak ada cakap, tidak ada canda, tidak ada tawa, tidak ada kasih, semua berlalu dengan keSIBUKannya masing-masing.

Terus apa yang diberikan orang tua kepada anaknya selain materi ?

Ada 1 kata yang paling manjur untuk menjawab 1001 permasalahan dan alasan yaitu SIBUK.
Kalau kita merasa SIBUK maka kita akan kelihangan banyak waktu dan kehilangan kesempatan yang sangat indah bagi keluarga.

Secara jujur :
Sempatkah kita memandikan anak kita yang terkecil ?
Sempatkah kita sarapan pagi bersama?
Sempatkah kita mengantar anak berangkat sekolah?
Sempatkah kita makan malam bersama sekeluarga dirumah?
Sempatkah kita menemani anak mengerjakan tugas?
Sempatkah kita bercanda dengan anak dirumah?
Sempatkah kita mengantar anak2 ke toko buku?
Sempatkah kita beribadah bersama sekelurga?
Sempatkah kita menghadiri pertemuan orang tua murid?
Sempatkah kita mengambil rapor kenaikan kelas?
Sempatkah kita menikmati akhir minggu bersama?

Jika anda belum sempat melakukan hal-hal kecil itu, lakukan sekarang!
Karena kesempatan itu indah dan sangat bermakna bagi anak dan istrimu, tunjukkan kasih, perhatian dan belaian buat mereka, bukan uang semata dan harta benda lainnya.

Pekerjaan, tugas tidak akan pernah habis.... semakin dicari semakin bertambah dan akhirnya terjebak pada kesibukan yang melupakan anak dan istri.

Jika kita hanya mengejar uang dan jabatan, maka sebenarnya sia-sialah upaya kita kalau tidak pernah memiliki waktu untuk keluarga.



Bandung, Februari 2005




PURWADI SISWANA

BELAJARLAH PADA PETANI

Mungkin bagi banyak orang, apalagi jaman sekarang keahlian seorang petani sudah bukan menjadi impian atau cita2. (karena memang ceritanya selalu menyedihkan; sangat menyedihkan)
Bahkan tidak pernah terpikir kalau kita sedang makan nasi, bahwa yang kita nikmati merupakan hasil karya petani.

Dalam kehidupan nyata (dimasyarakat, di kantor), sebenarnya proses kehidupan, karier semua sudah ada jalannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita menyikapi dan menikmati serta mensyukuri.

Sering terjadi, seseorang memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar pada suatu hal, dan dianggap oleh lingkungannya dia layak untuk dipromosikan, ternyata orang lain yang justru tidak pernah berkontribusi ternyata menduduki jabatan itu. Atau mungkin terjadi seseorang sudah dicalonkan dengan probabilitas lebih dari 90% akan jadi, ternyata orang lain lagi yang jadi.
Kondisi ini jelas akan sangat tidak kondusif, dari sudut pandang banyak orang, mungkin juga anda sewaktu membaca ini. Sangat tidak adil ketika seseorang memegang sendok untuk disuapkan ke mulut, ternyata disambar oleh orang lain, sangat keterlaluan !! (mungkin bisa dianalogikan semacam ini)

Namun apabila semua itu dipandang dari lubuk hati yang jernih, tentunya akan berbeda sama sekali.

Belajarlah pada petani, mungkin akan banyak orang berpendapat mana mungkin belajar dari petani.

Ketika sawah sudah selesai di panen, biasanya petani akan membiarkan sawahnya untuk tidak diolah, dibiarkan untuk tumbuh perdu dan rerumputan, dibiarkan tanah itu untuk bernafas.

Kemudian ketika musim hujan tiba, mulailah aktivitas membajak sawah yang dilakukan oleh ahlinya, dengan tekun dan rajin setiap jengkal tanah akan dicangkul dan dibajak tanpa tersisa. Ia lakukan semua ini dengan tulus dan tidak terpikirkan siapa yang akan menanam padi.
Bila semua jengkal dan sudut sawah sudah dibajak, maka dengan tulus ia menyerahkan kembali sawah kepada pemiliknya dan memperoleh upah.

Orang lain datang, dengan membawa benih untuk ditanam ditempat yang sama secara teratur batang-demi batang bibit padi di tanamkan dalam sawah yang berlumpur, berirama, teratur dan indah. Dari pagi hingga menjelang petang ia akan menanam semua benih padi hingga memenuhi sawah yang sudah di bajak, lalu ia serahkan kembali sawah kepada pemiliknya dan memperoleh upah yang menjadi haknya.

Ketika bibit mulai tumbuh, akan ada orang lain yang mulai membersihkan sawah, untuk memelihara bibit padi dengan membuang perdu atau rumput yang akan mengganggu tumbuhnya bibit padi. Ia akan taburkan pupuk untuk menyuburkan bibit, hingga setiap hari tumbuh.
Ia lakukan tugasnya setiap hari dengan tulus hingga bibit berubah menjadi pokok-pokok padi yang mulai berbunga dan berbuah, lalu ia serahkan kembali sawah dan pokok padi yang bulirnya mulai isi dan menguning kepada pemiliknya dan memperoleh upah yang menjadi haknya.

Ketika musim panen tiba, burung beterbangan di sekitar sawah untuk ikut menikmati hasil sawah tersebut untuk beberapa butir padi. Dan datanglah beramai-ramai para pemetik padi untuk memanen sawah tersebut. Dilakukannya dengan tulus dan hati-hati agar tidak banyak padi yang tercecer pada saat dipanen. Lalu mereka menyerahkan padi yang dipanen kepada pemiliknya dan memperoleh upah yang menjadi haknya.

Apa yang bisa kita pelajari dari hal ini untuk diterapkan dalam kehidupan nyata kita :

  1. Jalankan peran kita masing-masing dengan tulus karena kita akan menerima upah yang sepadan dengan usaha kita.
  2. Lakukan dengan tulus dan syukurilah karena peran itu yang terbaik buat kita.
  3. Jangan pikirkan kapan saya akan menuai hasilnya tapi pikirkan kapan tugas tersebut harus dapat kita selesaikan.
  4. Jangan ingini peran yang memang bukan hak kita.

    Diatas semuanya itu..... harusnya kita bersyukur untuk apa yang telah kita terima hari ini, karena itulah nikmat hidup. Dan ingatlah... peran kita dapat berubah setiap saat, mungkin saat ini jadi tukang cangkul sawah, besok jadi pemetik padi atau sebaliknya, karena rejeki itu datangnya dari Yang Maha Pengasih. Bila rejeki dicari, dikejar dengan sekuat kemampuanpun tidak akan dapat kalau memang bukan rejeki kita, sebaliknya meskipun dihalangi, dipersulit oleh orang banyak, tapi kalau memang itu rejeki kita, pasti Tuhan Yang Maha Pengasih akan memberikan rejeki itu tepat dan indah pada waktunya

    Belajarlah pada petani supaya kita lebih bijaksana dalam melakukan dan mensyukuri peran kita masing-masing.


    Bandung, 1 Februari 2005




    PURWADI SISWANA
"MULAI MENULIS LAGI....."

Ketika usia anak mulai menginjak "BALITA"
Orang tua akan mengajarkan berbagai hal baru bagi anak itu
Mulai cara makan, berpakaian, berbicara dan mulai menulis
Berawal dari coretan yang tidak berbentuk hingga akhirnya membentuk angka satu
berjejer seperti pagar yang tidak teratur...
sangat bebas dan natural.... meski dengan banyak upaya untuk itu

Ketika meningkat mulai masuk taman kanak-kanak, kegiatan "menulis" menjadi kegiatan pokok, terlebih lagi apabila dilengkapi dengan pensil yang berwarna-warni.
Semangat untuk "menulis" ditumpahkan dimana-mana.
Kertas, papan tulis, meja bahkan dinding rumahpun kan menjadi sarana untuk "menulis" dan melukis......
Biarkan dinding itu kotor oleh coretan dan tulisan ... karena akan tertanam dalam dirinya.

Namun ketika mulai remaja, kegiatan "menulis" itu menjadi jarang dilakukan, kecuali ketika harus "menulis" tugas ataupun mengerjakan PR.
Menulis menjadi bagian yang menjemukan dan sulit bagi banyak anak. Bahkan ketika harus mengumpulkan tugas "mengarang", akan gelisah karena sulitnya merangkai kata dan arti.

Banyak mahasiswa yang tertunda menyelesaikan kuliahnya hanya gara-gara "menulis" untuk Tugas Akhirnya. Secara tidak langsung hal ini juga mencerminkan adanya "kemiskinan" dalam hal menulis dibanding dengan "ngomong".
Lebih mudah untuk "ngomong" dari pada "menulis"

Ketika mulai bekerja, banyak pula yang menghadapi kendala ketika harus "menulis" laporan, apalagi dihadapkan pada jadwal waktu yang ketat. Hal ini akan menambah intensitas stress bila laporan tersebut sangat terkait dengan kinerjanya.......

Mungkin (kalau tidak salah) budaya membaca dan "menulis" masih merupakan "kemiskinan" di negeri ini. Siapa yang akan mengubah negeri tercinta ini menjadi negara yang "kaya" akan tulisan?
Jawabannya sangat mudah: mulai dari diri kita.

Itulah yang menjadi pmotivasi saya untuk mulai "menulis" di sini.

Bandung, 29 Nopember 2005



"Menulis itu, mudah dan indah"