Wednesday, August 05, 2009

Impian anak bukanlah impian orang tua

Berikut ini adalah tulisan ketika saya cuti dan ikut cari sekolah buat anakku :

 

52.  Mencari sekolah lanjutan.

Ada rasa kekhawatiran orang tua apabila memiliki anak yang duduk dibangku sekolah kelas 6 SD, 3 SMP atau 3 SMA, terkait dengan kesiapan anak dalam mengikuti Ujian Akhir Nasional. Seolah UAN menjadi penentu segalanya, sehingga berbondong-bondong memasukkan anak ke lembaga bimbingan belajar agar bisa menyelesaikan soal ujian dan lulus UAN.

Meskipun pengumuman kelulusan UAN belum ada, namun upaya orang tua untuk mendapat keyakinan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi sudah mulai terasa ketika UAN berakhir, bahkan ada juga yang sudah memperoleh sekolah lanjutan dengan biaya yang besar  dan harus dilunasi ketika sudah ada pengumuman bahwa anak tersebut sudah diterima. Bagi keluarga yang mampu, dana yang besar ini tidak menjadi masalah, namun hal ini menjadi semacam penghalang bagi anak yang pandai tetapi secara ekonomi tidak mampu untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan.

Pola seleksi masuk di Perguruan Tinggi yang seperti ini, akan menciptakan jurang pemisah antara orang yang mampu secara ekonomi untuk melanjutkan pendidikan dibandingkan yang tidak mampu, seolah Perguruan Tinggi hanya milik anak-anak yang mempunyai kemampuan ekonomi yang bagus.

Apabila pola seleksi lebih menitik beratkan pada besarnya sumbangan untuk sekolah, penulis merasa miris kita ini akan bisa tertinggal dalam dunia pendidikan karena jumlah orang yang memiliki kemampuan ekonomi menengah kebawah sangat besar dibandingkan dengan orang yang kaya.  Sementara banyak bibit unggul SDM yang sebenarnya berasal dari keluarga ekonomi lemah, tidak dapat melanjutkan sekolah karena masalah biaya yang begitu besar untuk ukuran mereka.

Mudah-mudahan pemerintah yang terpilih nanti mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan, sehingga semua rakyat memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikannya. Dengan biaya pendidikan yang terjangkau maka bibit-bibit unggul dari keluarga ekonomi lemah akan mampu mendorong kemajuan bangsa ini.

Di sisi lain,  ketika besarnya dana sekolah tidak lagi menjadi masalah, mungkin secara individu  juga muncul masalah ketika tidak ada kesesuaian antara keinginan anak dan orang tua.

Pemahaman anak masa kini, jauh berbeda dengan sepuluh tahun lalu, dimana saat ini anak lebih bebas menyampaikan keinginan atau pendapatnya terkait dengan rencana pendidikan selanjutnya.

Banyak hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang tua ketika anak menentukan jurusan pendidikan yang sama sekali bertentangan dengan yang diinginkan oleh orang tua.

Kalaupun orang tua dapat memaksakan anak untuk melanjutkan pendidikan sesuai jurusan yang diinginkan orang tua, ternyata setelah tengah jalan banyak yang memberontak, beralih ke sekolah lain. Bahkan terjadi ketika ijasah telah diterima, ternyata bukan kebanggaan anak yang ada atas prestasinya, tetapi diberikan kepada orang tuanya dan lebih baik bersekolah kembali sesuai yang diinginkannya.

Bercermin dari kondisi ini, penulis pun mengalami hal yang sama mengenai rencana melanjutkan pendidikan anak sulung kami.  Di awal kelas 3 SMA IPA, anak kami berkeinginan untuk mengambil jurusan geologi, dengan alasan sederhana yaitu banyak beraktivitas di luar kantor, tetapi entah karena apa tiba-tiba di awal semester II, berubah total ingin melanjutkan ke NHI mengambil jurusan kitchen sebagai pilihan utama. Alternatif lainnya mengambil program S1 di STP Bandung Sementara untuk pilihan lainnya ingin ke ITB sebagai cadangan dengan jurusan FSRD yang sama sekali tidak pernah didiskusikan dan sama sekali tidak memiliki kemampuan di bidang seni rupa, itupun mengambil seleksi USM, bukan kemitraan.

Semula ada rasa khawatir di dalam diri saya,  apa iya sih si sulung benar-benar berminat dibidang itu? Untuk meyakinkan diri, saya coba Tanya mbah goggle untuk mencari informasi mengenai prospek dari NHI, STP Bandung. Juga mencoba mencoba informasi lainnya kepada senior yang bergelut juga dibidang pendidikan.

Jawaban yang saya peroleh,  ternyata semuanya menyarankan agar rencana anak saya didukung sepenuhnya, karena untuk masa depan yang diperlukan bukan hanya sekedar ijasah, tetapi profesionalisme di bidangnya yang akan dapat menjadi sumber penghasilan.

Saya alokasikan waktu secara khusus untuk mendukung pilihan si sulung dan tetap memberikan motivasi agar dia siap untuk mengikuti ujian masuk, sambil tetap berdoa agar rencana Tuhanlah yang jadi, sementara kita berusaha sesuai kemampuan kita.

Dukunglah anak kita untuk mewujudkan impiannya, bukan impian orang tua.

Bandung, 24

11 comments:

*Arisa . said...

Rasanya sudah memang semulajadi, parents itu tetap parents yg selalu khawatir terhadap anak2...dan itu adalah baik...yg menandakan parents itu punya kasih sayang mendalam dan tanggungjawab terhadap anak2nya. Suksess selalu kang....Tuhan memberkati keluarga yg baik seperti keluarga kang PS.

Purwadi Siswana said...

Amien, kami percaya bahwa rencana Tuhan adalah yang terbaik buat umatnya.

Tulus Subardjono said...

sayangnya sekolah di Indonesia tidak menjamin kerja sesuai keahliannya...

Purwadi Siswana said...

ya kangmas, memang tidak menjamin dan ternyata banyak yang salah jurusan... lha ada ahli pertanian tapi kerja di bank. Tapi sekolah memang tetap perlu lho

Evia NW Koos said...

lha kok tiba2 nomer 52?

Purwadi Siswana said...

copasnya nggak diedit... hehehe
lagi belajar nulis.... ini nomor urut tulisan yang ke 52... karena posting juga di blog

Evia NW Koos said...

Hadeh mas, untung sampeyan dukung. Aku pikir jaman sudah berubah. Dulu NHI gak dilirik blas, ternyata sampe sekarang juga masih nggak dilirik ya.
Apalagi anak sampeyan ngambil jurusan kitchen, bisa untuk wiraswasta itu. Top markotop wis lulusan NHI.

Purwadi Siswana said...

matur nuwun mbak...

Evia NW Koos said...

Ini yg aku gak habis pikir. Eman banget, ilmunya gak digunakan maksimal. Kenapa juga gak bangun luar Jawa ya? Pada ngumpul di Jawa, penduduknya dah terlalu padet.

Evia NW Koos said...

Sama sama.

Purwadi Siswana said...

bener mbak...., coba kalau "Gula" disebar keluar Jawa... maka akan seperti semut akan memenuhi seluruh Indonesia dan maju bersama... nggak ada yang tertinggal...