Wednesday, September 23, 2009

Menyusuri Negeri Di Atas Awan




Hampir semua wisatawan yang berkunjung ke Dieng, akan mengunjungi obyek wisata ke komplek candi Pendowo, Museum, kawah Sikidang, telaga Warna, Telaga Pengilon, Dieng Theatre dan bagi beberapa orang menarik untuk menikmati sunrise.

Kali ini saya napak tilas, mengulangi perjalanan semasa kecil (dulu jalan kaki), Wonosobo, Garung, Kejajar, Tieng, Dieng, Batur balik ke Wonosobo melalui rute Telaga Cebong, dusun Mlandi, Menjer, Garung, Wonosobo. Saya tidak mengunjungi objek wisata yang rutin dikunjungi wisatawan, tetapi sempat mengunjungi Telaga Swiwi, kawah Sileri dekat dengan Sinila, Sumur Jolotundo, semua lokasi ini berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara.

Cuaca pagi hari cukup bersahabat, tidak ada hujan tetapi sedikit mendung dan awan cukup banyak sehingga seolah perjalanan ke Dieng seperti menuju negeri di atas awan.
Pemandangan dari gardu Pemandangan terlihat desa2 jauh dibawah, Tieng, Girmanak, Kejajar mulai tertutup awan, demikian pula ketika dari Dieng menuju ke Batur, awan mengambang diatas langit Dieng.
Menuju tempat wisata, sejauh mata memandang hanya perladangan yang ada samapi di puncak bukit, dan semburan asap yang keluar dari PLTG sehingga menambah nuansa putih diantara hijaunya ladang sayuran. Ditempat yang saya kunjungi sepi sekali bahkan tidak ada wisatawan yang lainnya, kecuali di sumur Jolotundo ada 4 anak remaja dan kelihatannya berasal dari lokasi sekitarnya.
Selanjutnya menuju kecamatan Batur untuk beli kripik kentang, karena daerah ini terkenal dengan penghasil kentang kualitas tinggi dan disaluran ke pabrik pembuat patoto chips. Kentang yang tidak masuk kategori ini, oleh masyarakat setempat dibuat kripik kentang dengan berbagai rasa yang gurih dan renyah dan harganya yang murah banget, satu plastik ukutan besar hanya Rp. 15 ribu saja.

Perjalanan yang cukup berkesan tetapi mendebarkan ketika perjalanan pulang dari Dieng ke Wonosobo, dengan menempuh rute jalan pintas, yang menjadi alternatif ketika terjadi longsor di KM 20.
Setelah pulang dari Batur, kami menuju ke Dieng dan dilanjutkan menuju ke Telaga Cebong (dekat lokasi ini ada tempat untuk menyaksikan sunrise, dulu sempat jalan kaki dari Tieng). Tempat ini cukup terpencil dan terletak di lembah diantara bukit disebelah selatan kawasan wisata. Mengingat sudah lebih dari 25 tahun tidak menjejakkan kaki menuju desa Cebong, terpaksa dengan insting saja, karena kalau tersesat,,, ya balik lagi lewat jalur biasa.

Ketika memasuki desa Cebong, ada seorang ibu2 baru selesai memasak dan akan membersihkan peralatan, kami menayakan apakah ada jalan menuju Menjer? Teryata pas di pertigaan kami berhenti, ibu itu menunjukkan arah ke jalan ke Menjer. Satu keyakinan saya, dan selalu benar “bertanyalah kepada orang tua kalau ingin tahun jalur yang akan ditempuh”, jawabannya selalu jujur dan benar.
Mulailah saya mengarahkan kendaraan ke jalan kecil yang ditunjukkan ibu2 itu, semula saya sempat ngeper....., keder juga karena jalurnya sangat sempit hanya cukup satu mobil dan turunan tajam dan berkelok.
Sebelum menuruni lembah curam, saya ambil gambar dan ternyata kabur tebal mulai datang dari bawah mengarah ke lembah yang akan saya lalui. Dari tempat saya berdiri hingga jalan yang datar di bawah lembah, saya perkirakan lebih dari 200 m tingginya, dan jalan berkelok-kelok.
Untuk mententramkan hati, sambil canda sama keponakan saya Agung, saya bilang “Angkot saja berani mosok kita nggak benari turun mas?”.

Jalan benar2 sudah semakin parah, aspal mengelupas ditiap belokan, dan saya sempat tercengang ketika kabut sempat berlalu sebentar, saya lihat air terjun yang cukup tinggi, mungkin berasal dari aliran telaga Cebong, kelihatan sangat indah, tetapi hanya sekejap tertutup kabut tebal. Jarak pandang kurang dari 20 M, mesti lebih hati-hati.
Kembali saya fokus pada jalur sempit dan jurang yang menganga lebar karena tidak ada pembatas jalan. Meskipun udara dingin, ternyata saya berkeringat juga, harus melewat jalan ini.

Akhirnya mampu melewati turunan tajam dan sampai di jalan datar persis dibawah tebing bukit. Rasanya perjalan kali ini lebih parah dibandingkan jalur Wonokitri – Gunung Bromo, Probolinggo – Cemoro Sewu, bahkan kalau dibandingkan kelok 7 Pekan baru – Padang, maupun Kelok 44 Danau Maninjau – Bukit Tinggi rute yang saya lalui lebih menantang dan mendebarkan karena jalan yang sempit, rusak, kelokan tajam dan jurang yang cukup dalam dan kabut tebal yang menghadang perjalanan, seolah sedang menyusuri negeri di atas awan.

Setelah melewati turunan tajam, maka yang ada tinggal jalan rusak tanpa aspal dan pemandangan yang indah dari lembah ini, baik pemandangan mengarah ke atas bukit maupun menuju ke arah selatan. Seandainya saja, kabut tebal tidak turun, tentu akan disuguhi penandangan yang indah mulai dari air terjun juga lembah yang hijau.

Mungkin saya harus berpikir 10 kali lagi, kalau harus mengulangi rute ini.

13 comments:

(^_^lavender dewiix^_^) said...

wooooww keren
suasana asri bngt masih fresh suasana pedesaan

(^_^lavender dewiix^_^) said...

ya ampuun baguuss bngt om

Ignatius Tyok said...

dieng memang mantap pak, rasanya saya ga bosan untuk menikmati dinginnya hawa di sana, great pic.

Purwadi Siswana said...

Tks Vie, lha namanya juga pegunungan non..... ya jelas fresh suasana pedesaan

Purwadi Siswana said...

Vie, lebih bagus aslinya lho...., kapan rame2 ajak juga dhave, nyusuri pegunungan dieng sekalian tembus ke pekalongan.... tapi jalan kaki?

(^_^lavender dewiix^_^) said...

toool om 100 dech buat om
wkkwkwkkwkwkwk

(^_^lavender dewiix^_^) said...

jalan kaki OM???
mati GW..........mau bngt asal si dhave gendongin ak
siaaaaaaap kapan?

Purwadi Siswana said...

mas sulisyk, sampeyan percaya kalau sebagian besar penduduk disana menerima tamu di dapur? tempat itu paling nyaman, terlebih lagi bila musim hujan, berdiang di pinggir tungku mengurangi rasa dingin sambil menikmati teh atau kopi dan makanan kecil ngobrol bersama tuan rumah. Enak tenan.

DhaVe Dhanang said...

njajah ndeso milangkori tenan...
mantab view cakep pisaan... josss

Purwadi Siswana said...

tks dhave...., mungkin kalau jalan kaki lebih banyak yang bisa dinikmati..... BTW gimana tantangan Vie??? minta digendong.... kalau jalan kaki hehehe

DhaVe Dhanang said...

iya nehh... aku lebih suka jalan kaki... lebih bisa menikmati debu dan bau keringat dan mendengar hembusan nafas... masalahnya tidak ada yang mau getuan... (alesan padahal gak punya motor apalagi mobil. dengkul only). asyik Om.. suatu saat pasti sampai sana... naik merbabu dulu sajah...

Purwadi Siswana said...

ya Dhave, memang kalau jalan kaki, kita bisa rasakan semilirnya angin dan basah keringat, juga bau tanah basah dipagi hari, dan lebih dari itu..... masih punya kaki yang harus disyukuri....

Purwadi Siswana said...

setuju dhave, memang lebih nikmat jalan kaki, bisa merasakan desir angin, bau tanah basah, juga rintik hujan dan bercampur bau keringat...., tetapi lebih dari itu..... bersyukurlah untuk kaki yang Tuhan beri.