Tuesday, October 12, 2010

Wanita perkasa yang penuh kasih

Setiap mendekati tanggal 22 Desember, yang sering muncul dalam angan maupun pikiran adalah sosok IBU. Semua orang juga setuju karena pada tanggal itu sebagai hari Ibu dan bagi keluarga yang berada akan merayakannya dengan meriah. Suami dan anak akan memberikan yang istimewa bagi ibu dengan memberikan layanan, hadiah dan kesenangan apa yang di-inginkan akan bisa terpenuhi.

Dalam tayangan televisi, berlomba-lomba untuk menayangkan secara khusus acara yang terkait dengan hari ibu, mulai dari keluarga pejabat, hingga testimoni para artis mengenai kasih dan kehidupan mereka tentang ibu mereka. Sangat menarik untuk ditonton karena semuanya menyatakan tentang kasih sayang ibu kepada anaknya. Meskipun kita tidak pernah tahu apakah yang ditayangkan juga menunjukkan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari mereka ? Who knows?

Namun dibanyak keluarga di Indonesia, hari Ibu adalah hari-hari yang biasa saja, seperti hari-hari yang telah mereka lalui dengan berbagai persoalan yang selalu harus dihadapi, kesulitan ekonomi, masalah kesehatan bahkan juga sangat mungkin harus membanting tulang untuk mencukupi makan keluarganya untuk hari itu.

Entah mengapa, tiba-tiba terbayang dengan jelas dalam memoriku yang seolah memutar kembali kehidupan keluargaku 37 tahun yang lalu.  Di sebuah kota kecil seorang ibu janda dengan sembilan orang anaknya, hidup dengan serba kekurangan. Tanpa keahlian dan tidak ada dukungan ekonomi, harus memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk keluarga besarnya.

Ketika pagi masih sepi dan dingin yang menusuk tulang, kulihat ibuku sudah bangun dan memulai aktivitasnya menyalakan tungku kayu, memasak beras ketan dan singkong. Setelah masak lalu ditumbuk untuk dihaluskan, sehingga menjadi seperti adonan untuk dibuat getuk singkong dan ketan untuk digoreng. Selain ibu juga kakakku ikut membantu sebelum berangkat sekolah.

Siang hari ketika pulang sekolah, kulihat ibuku masih sibuk untuk menggoreng pisang, tempe juga getuk singkong yang harus dibawa oleh kakakku perempuan untuk dijual dipasar. Beruntung bila hari cerah dan dagangan bisa habis, maka kami bisa menikmati “keuntungan” untuk membeli beras untuk makan kami hari itu.  Namun bila hari hujan, terkadang kakakku pulang dengan sisa dagangan yang cukup banyak. Kami pun bersyukur karena masih ada modal untuk membeli bahan untuk jualan esok hari dan kami masih bisa menikmati sisa dagangan sebagai makan malam kami, karena mungkin ada keluarga yang belum bisa makan pada hari itu.

Ketika malam telah larut, dan aku terbangun kulihat ibuku masih dengan tekun menyiapkan singkong dan beras ketan untuk diolah pagi hari. Disela-sela waktu yang ada kadang aku bermanja dipangkuannya sambil ibuku menggoreng. Kadang ia memintaku untuk belajar dengan baik dan ibuku memiliki kemauan yang keras agar semua anaknya bisa tetap sekolah. Meskipun tahu bahwa biaya sekolah sangatlah memberatkan ekonomi keluargaku. Kami semua anak-anak setuju dengan keinginan ibu, bahkan kakakku yang nomor lima, dengan rela tidur di jok mobil angkutan sebagai penjaga malam, meskipun esok paginya harus sekolah. Seluruh upah yang diperoleh diserahkan semuanya pada ibu untuk menambah modal atau untuk membayar tunggakan uang sekolah kami.

Ketika kami ada yang jatuh sakit, ibu segera membawa kami ke pak mantri kesehatan meskipun tahu biaya untuk berobat sangat menyulitkan kami. Namun kami bersyukur karena pak mantri kesehatan tersebut sekali waktu membebaskan biaya pengobatannya. Di sela-sela pekerjaannya, ibu selalu menyempatkan untuk menengok dalam bilik dan dengan penuh kasih sayang membalur tubuh kami supaya tetap hangat dengan campuran minyak tanah, minyak kelapa dan bawang merah, sambil memanjatkan doa untuk kesembuhan kami.

Kehidupan sehari-hari dijalani ibu dengan penuh ketabahan, tidak mengeluh penuh semangat, tegar menghadapi kehidupan yang berat dan percaya diri untuk berusaha memenuhi kebutuhan keluarga besar kami tanpa harus menadahkan tangan kepada saudara kami yang mampu. Ibuku berkata “apabila kita mau berusaha keras, maka kita harus yakin bahwa Tuhan Maha Kasih akan memberikan rejeki bagi setiap umatNya”

Ibuku juga tidak berpendidikan tinggi, hanya sempat sampai kelas 2 Sekolah Rakyat, namun ibu selalu menekankan agar kami tetap sekolah, karena bila seseorang pintar dan mampu sekolah yang tinggi, maka kehidupannya akan dapat berubah.  Keinginan ibu untuk mempertahankan kami agar tetap sekolah juga membawa konsekuensi yang berat karena kami harus melunasi uang sekolah manakala mulai menghadapi ulangan umum atau ujian. Kami harus ikut ulangan/ ujian dan ibu terkadang memaksakan diri mengambil hutang kepada pemberi pinjaman dengan bunga yang tinggi, manakala tidak ada lagi barang yang cukup berharga untuk digadaikan.

Sekali waktu ada seseorang diemperan rumah kami, kedinginan karena hujan dan kelihatan kelaparan, maka ibu dengan ringannya memberi makan bahkan terkadang membekali sedikit uang untuk pulang, meskipun tidak tahu asal-usul orang tersebut. Satu hal yang mendalam dalam benak kami, ibu berpesan kalau ada orang yang kekurangan dan memerlukan bantuan, bantulah kalau kita memang bisa membantu. Seperti pepatah sederhana kebanyakan orang Jawa, ibu mengatakan, biarlah ibu membantu orang ibaratnya menanam benih kebaikan dan tidak tahu kapan menuainya. Secara tidak langsung ibu telah menamam benih kasih dalam nurani kami tanpa banyak kata-kata tetapi dalam bentuk yang nyata.

Meskipun tahu bahwa keuntungan menjual makanan tidak seberapa, ibu juga melayani pembeli dengan membayar dibelakang (sistem bon) ketika sudah menerima upah. Namun tidak semua pelanggan itu berperilaku baik, hingga suatukali ada langganan yang dengan sistem bon pergi begitu saja. Ibuku tidak marah bahkan membiarkannya, karena berprinsip nanti Gusti akan memberikan lebih dari yang hilang. Rasanya tidak masuk akal pada masa yang susah bisa memafkan orang yang merugikan, kalau ibuku tidak memiliki rasa kasih, maka hal ini tidak mungkin terjadi.

Hidup yang serba kekurangan kami jalani dengan rasa pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Ibuku menjalani kehidupan ini dengan penuh tangis, perjuangan yang tidak mengenal menyerah, penuh pengharapan bersandar pada Tuhan dan mewujudkan kasih dalam keseharian.

Ibu, terima kasih atas didikan kehidupan bagi kami.

Ibu, aku kangen

Ibu, engkau Wanita Perkasa yang penuh kasih bagiku.

 Bandung,  26 Januari 2008

16 comments:

rudal boy said...

Bang Aku jadi sedih nieh membaca tulisan Abang yang bagus sekali, Sayang Ibuku keburu di panggil Tuhan, kalau ngga mungkin aku masih bisa merayakan bersamanya.Terimakasih Bang sudah menghiburi hati semua orang, semoga menghormati hari Ibu dengan penuh kedamaian dihati.

DhaVe Dhanang said...

sembah sungkem kagem Ibu....

''makasih Om Pur sudah mengingatkanku''

HaVitDeMa + + said...

salam hormat untuk ibunda mas PS,semoga sehat2 selalu dan aman amin atas Kasih Nya buat seluruh keluwarga.

Aryo Gambleh said...

*ra isa kemecap*

♥ Laras ♥ Bantul said...

Treyuh mas...banyu moto ku netes...." salam kagem ibu tercinta,,,

Martha The said...

Mas.... makasih sharingnya jadi inget mamihku. Dulu aku juga pernah mengalami seperti itu waktu kecil...... bener2 Wanita Perkasa

Purwadi Siswana said...

terima kasih juga Bang Rud, semoga tulisan ini bisa berkenan bagi setiap pembaca.

Purwadi Siswana said...

ya Dhave...., ibuku sampun tilar donya

Purwadi Siswana said...

terima kasih mas...., tulisan ini kenangan saya tentang ibu yang sudah kembali ke Sang Pencipta

Purwadi Siswana said...

matur nuwun wis mampir

Purwadi Siswana said...

nuwun mbakyu....

Purwadi Siswana said...

tks Tha, semoga bisa membuat kita selau rindu untuk menyenangkan hati seorang ibu..

ani adami said...

bikin sedih bacanya. semoga ibu bangga melihat anaknya sukses karena kerja keras beliau

Purwadi Siswana said...

terima kasih mbak

Martha The said...

mumpung masih ada..... jadi ingin terus bisa bahagiakannya.....

Purwadi Siswana said...

pls Tha.... jangan tunda2...